Kamis, 12 Juni 2014

Mendaki Gunung : Keep Calm and Stay "Mbois"

Menuruni  tebing di G. Raung
Banyak teman-teman saya yang sering menayakan "Kenapa sih kamu mendaki gunung"? Sepertinya pertanyaan seperti ini juga seringkali diutarakan oleh banyak orang terhadap para pendaki lain. Pertanyaaan yang logis memang, karena jika dipikir-pikir dengan akal sehat kegiatan mendaki gunung atau olah raga alam bebas lainnya memang membutuhkan banyak pengorbanan. Dari mulai pengorbanan uang, tenaga, waktu hingga pacar (yang udah punya tentunya....). Wah berarti saya tidak punya akal sehat dong kalau begitu. Sepertinya banyak orang yang ingin mengetahui alasan kenapa orang mendaki gunung. Apakah segala sesuatu harus disertai dengan alasan. Orang yang sedang pacaran jika ditanya kenapa mencintai pacarnya, saya berani bersumpah "potong leherku"(cing) pasti tidak bisa memberikan alasan yang logis. Kalau ia menjawab karena cantik atau ganteng, wah ini "bulshit" banget. Ntar pas jalan lihat yang lebih cakep juga pasti "meleng" matanya.

Kembali ke pertanyaan diatas, apakah segala sesuatu membutuhkan alasan. Mencintai adalah persoalan perasaan dan sepertinya ini tidak butuh alasan. Jika pun harus memberikan alasan, banyak pernyataan "pembenaran" dari para pioneer atau tokoh jaman dahulu yang biasanya dijadikan alasan. Seperti George Mallory, misalnya yang menyatakan "because is there", terkait alasannya kenapa naik gunung. 

Atau seperti ungkapan Soe Hok Gie yang mengatakan “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

Bapak Pandu Dunia, Henry Dunant juga mengantakan, "Tidak akan hilang pemimpin suatu bangsa bila pemudanya masih ada yang suka masuk hutan, berpetualang di alam bebas dan mendaki gunung. Nampaknya hal tersebut sangat beliau mengerti, bahwa berkegiatan di alam terbuka akan membentuk pribadi yang menghargai hidup".

Banyak juga alasan lainnya yang ngetrend diungkapkan, seperti  "Cinta di tolak, keril diangkat". Ada lagi, "PDKT gagal, mari bangun tenda dan makan bekal" atau alasan yang standar seperti "karena hobi", "karena ngangenin" dan masih banyak lagi alasan lainnya.

Berbicara alasan mendaki gunung tak lepas dari sejarah, pendakian gunung bukan hal yang baru. Di Eropa tercatat sejarah pendakian sudah dimulai sejak tahun 1492 yang dilakukan oleh Sekelompok orang Perancis di bawah pimpinan Anthoine de Ville mencoba untuk memanjat tebing Mont Aiguille (2.097 m), di kawasan Vercors Massif.Hingga kemudian banyak tokoh-tokoh yang terkenal seperti, 

Dr. Michel Gabriel Paccard dan seorang pemandu gunung, Jacquet Balmat yang berhasi menggapai puncak Mont Blanc (4807).

AF Mummery, pendaki Inggris yang mendaki  Nanga Parbat (8.125 m) yang sering disebut Bapak Pendakian Gunung Modern.

George Mallory, yang mendaki puncak everest (8.400 m) tanpa tabung oksigen. Tokoh ini biasanya yang sering dideritakan dan mejadi ukuran kebanggan paran pendaki.

Ada juga Dr. Karl Prusik memelopori penggunaan tali kecil dengan simpul khusus untuk menggantung dan meniti tali yang lebih besar. Sampai sekarang tali kecil dan simpul ini dikenal dengan istilah prusik. Meniti tali dengan menggunakan tali kecil dan simpul ini disebut prusiking.

Masih banyak lagi tokoh-tokoh yang melegenda namun yang paling saya suka adalah WA Coolidge yang dijuluki Mr. Winter Climbing dengan prinsipnya mendaki tanpa pemandu, yang kemudian menjadi trend sampai sekarang. Mendaki tanpa pemandu dirasa lebih membanggakan dan memiliki tantangan yang lebih.

Ekplorasi pendakian gunung-gunung di indonesia sendiri sudah dilakukan sejak tahun 1800-an. Tokoh yang sudah tidak asing lagi yaitu Frans Wilhem Junghun. Ahli botani, naturalis, doktor, dan alpinsim ini banyak melakukan pendataan hutan di gunung-gunung wilayah Jawa. Saya kira, jasanya dalam perkembangan pendakian gunung di indonesia tidak perlu diragukan lagi. 

Pada tahun 1899 Ekspedisi Belanda pembuat peta di Irian menemukan kebenaran laporan Yan Carstensz (1623). Navigator dari Belanda yang pertama mengabarkan ke daratan Eropa tentang adanya puncak es dinegara tropis di garis equator Barat Papua Nugini. Maka namanya diabadikan sebagai nama puncak yang kemudian ternyata merupakan puncak gunung tertinggi di Indonesia. Hingga kemudian muncul ekspedisi-ekspedisi untuk melakukan pendakian Cartenz Pyramid. Pada ekspedisi ini ada salah satu ahli geologi yang menemukan deposit tembaga di Gunung Grasberg. Di Grasber inilah kemudian penambangan emas dilakukan oleh Freeport.

Pendakian Gunung di Indonesia semakin berkembang seiring dengan bermunculannya Organisasi Pecinta alam (OPA). Soe Hok Gie dan Norman Edwin sepertinya nama-nama ini sudah tidak asing di telinga kita.

Berbicara mengenai sejarah sepertinya akan panjang dan saya tentunya tiidak akan mengupas tuntas itu. Namun dari sejarah-sejarah tersebut setidak dapat  tergambar apa yang menjadi alasan untuk mendaki gunung. 

Perkembangan teknologi dan komunikasi tentunya semakin mempermudah aktivitas pendakian gunung. Jaman dahulu selain membutuhkan fisik yang kuat, seorang pendaki  gunung harus memahami peta, kompas dan tanda-tanda alam. Karena membutuhkan fisik yang kuat, mendakai gunung sering disebut sebagai kegiatan "mbois" plesetan kata "boys" yang berarti keren, kecowokan, cool, kece. Apalagi kalau misalkan naik gunung sampai puncak dan membawakan bunga edelweis untuk cewek-cewek. Bisa bling-bling deh tuh cewek. 

Seiring dengan teknologi yang semakin berkembang, pendakian gunung dan olahraga alam bebas lainnya sepertinya mulai mengalami pergeseran. Mendaki gunung sudah menjadi olahraga publik. Tidak hanya didominasi oleh kaum laki saja, sekarang perempuan bahkan anak-anak sudah banyak menekuni aktivitas ini. Gaya-gaya "mbois" sepatu boot, gelang prusik, dan style gunung lainnya tetap menjadi favorit tak kalah dengan gaya boysband atau K-pop. Perlengkapan adventure semakin mudah didapat dan informasi - informasi seputar jalur atau medan pendakian juga semakin banyak. Naik Gunung tidak lagi untuk menunjukan bahwa saya hebat, kuat, menjadi yang pertama. Saya naik gunung agar tetap "mbois". So, keep calm and stay "mboys"......



Jumat, 01 November 2013

KERUGIAN AKIBAT KONFLIK GAJAH DI TEBO JAMBI MENCAPAI 13 MILYAR


AUDIENSI DENGAN KOMISI II DPRD TEBO : KERUGIAN AKIBAT KONFLIK GAJAH DI TEBO JAMBI MENCAPAI 13 MILYAR
Tebo 31 Oktober 2013
Wakil Ketua DPRD Tebo Sedang Memimpin Audiensi
Sejumlah perwakilan masyarakat yang berasal dari Kecamatan Sekalo, Kecamatan Serai Serumpun dan Kecamatan VII Koto mengadukan permasalahan konflik gajah yang sudah lama dihadapi oleh masyarakat,melalui audiensi yang difasilitasi oleh Komisi II DPRD Tebo.  Turut diundang dan hadir  pada audiensi ini yaitu Dinas kehutanan,BKSDA,  Franfurt Zoological Society (FZS), PT LAJ dan Asisten I.
Pada audiensi ini masyarakat mempertanyakan mengenai SK Bupati mengenai pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Satwa liar yang sudah terbentuk sejak tahun 2010 namun sampai sekarang belum ada tindakannya yang jelas. Masyarakat juga mengharapkan adanya solusi untuk penanggulangan konflik gajah yang dihadapi masyarakat. Kepala Desa Kuamang menyampaikan “Konflik gajah yang dihadapi masyarakat sebenarnya sudah terjadi sangat lama. Sudah ribuan hektar lahan masyarakat yang menjadi korban namun belum ada tindakan yang jelas”. Pernyataan  serupa juga di ungkapkan oleh Suyono dari Desa SP5 yang menyatakan “pemerintah cukup lamban dalam menanggulangai konflik. Karena konflik sudah terjadi cukup lama namun belum ada tindakan dari pemerintah”.
Konflik antara manusia dan gajah yang dialami masyarakat semakin tinggi karena habitat gajah sudah habis. Banyak kawasan hutan yang tadinya merupakan habitat gajah dikonversi menjadi areal HTI, perkebunan dan pertambangan. Hal ini yang menyebabkan konflik gajah semakin tinggi karena minimnya ktersediaan pakan gajah di hutan sehingga gajahmasuk ke kebun masyarakat. Dari data yang dikumpulkan oleh Franfurt Zoological Society kerugian yang dialami olah masyarakat mencapai Rp 13.658.442.020,- ini belum termasuk kerugian secara psikhis yang dialami masyarakat saat berkonflik. Bahkan hingga jatuh korban jiwa. Albert Tetanus dari FZS kemudian juga menyampaikan “ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengurangi resiko kerusakan akibat konflik dengan gajah seperti menjaga kebun, penggunaaan meriam karbit, Bom asap,dan pembangunan pagar listrik”. Pagar listrik menjadi metode yang cukup efektif namun biayanya cukup mahal. “Pagar listrik ini sudah dibangun di desa Sekutur Jaya kecamatan serai serumpun atas kerjasama dari FZS, BKSDA dan Masyarakat dan sampai sekarang cukup berhasil untuk mecegah gajah memasui kebun-kebun sawit milik masyarakat”, tambahnya.
Pak Prayitno dari Dinas kehutanan menyampaikan juga “Adanya pembentukan tim koordinasi penanggulangan satwa liar merupakan tindak lanjut karena jatuhnya korban jiwa 1 orang meninggal dunia karena konflik dengan gajah di kecamatan VII Koto. Namun setelah tim koordinasi ini dibentuk kemudian belum ada koordinasi sampai sekarang”.
Kemudian Pak Popri dari Komisi II menyampaikan “ Untuk kedepannya perlu merevisi tim koordinasi penangulangan satwa liar agar lebih efektif. Selain itu kemudian juga dianggarkan untuk kegiatan kegiatannya termasuk juga di setiap dinas. Jadi di depan tidak ada lagi alasan tidak ada anggaran untuk penanggulangan konflik dengan satwa liar”.
Adanya areal khusus untuk gajah menjadi hal penting karena untuk penanggulangan konfliknya menjadi lebih mudah. Dan jika sudah ditetapkan maka areal ini tidak boleh diganggu-ganggu lagi dan diubah untuk penggunaan lain. Areal ini nantinya selain menjadi pusat konservasi juga akan menjadi pusat pendidikan dan yang lainnya. Peran swasta diharapkan juga dapat membantu masyarakat untuk mananggulangai konflik karena adanya perusahaan yang beroperasi di kawasan bukit tiga puluh ini juga berkonstribusi terhdap rusaknya habitat gajah. Setidaknya dari dana CSR yang dimiliki oleh perusahaan. Dari  hasil Audiensi ini diputuskan akan adanya pembahasan lebih teknis dan perumusan strtegi untuk penanggulangan konfliknya. Untuk itu pada audiensi yang dipimpi oleh Wakil Ketua DPRD Tebo ini kemudian menetapkan Tim Ad hoc yang berfungsi untuk merumuskan strategi tersebut. Tim Ad hoc yang di koordinatori oleh Dinas Kehutanan diberi waktu selama satu mingggu untuk kemudian memaparkan hasilnya. Untuk jangka waktu dekatnya BKSDA diminta untuk dapat merespon konflik yang ada dimasyarakat sampai kemudian ada rumusan strateginya.(leo)

Senin, 20 Mei 2013

Ingin Peliharaan,Peliharalah Gajah Sumatra

 
Pemasangan GPS Collar Pada Gajah Anna
Anna, Bella, Cinta, Dadang dan Elena adalah nama gajah Indonesia yang ditawarkan untuk dipungut, sebagai bagian dari proyek perlindungan atas gajah Asia yang langka agar hewan berbelalai itu tetap bisa hidup di alam bebas.
Lima gajah tersebut masuk sebagai bagian proyek konservasi untuk menyelamatkan gajah-gajah Asia.
"Karena habitat mereka hilang, konflik dengan komunitas lokal meningkat, menyebabkan kematian di kedua pihak,” ujar Cocks, pegiat konservasi dari International Elephant Project, Jumat (22/3) di Sydney.
Anna, Bella, Cinta, Dadang dan Elena adalah lima gajah yang berasal wilayah Bukit Tigapuluh, di antara provinsi Jambi dan Riau. 
''Penebangan hutan di Sumatra menyebabkan para gajah diracun warga desa yang ingin melindungi tanaman mereka dari satwa-satwa yang kelaparan tersebut, Kondisi gajah-gajah Asia jauh lebih kritis daripada gajah Afrika karena jumlahnya lebih sedikit,'' ujar Leif Cocks, salah satu pendiri proyek tersebut.
''Di sini mereka memungkinkn untuk tetap hidup di alam liar,'' jelasnya. 
Gajah-gajah pertama yang menjadi fokus saat ini adalah gajah Sumatra, yang memang sangat terdesak. Ada 1.200 sampai 1.600 maksimum yang tersisa di alam liar, dan mereka populasi yang terfragmentasi.
Sedangkan mengenai lima gajah yang bisa “diadopsi” itu merupakan bagian dari kumpulan yang berbeda di wilayah Bukit Tigapuluh, di antara provinsi Jambi dan Riau, yang mengalami deforestasi yang pesat akibat pembukaan perkebunan kelapa sawit dan penebangan kayu untuk kertas. Saat ini, masing-masing gajah dilengkapi dengan kalung GPS, agar dapat dimonitor keberadaan dan gerakannya.
Kalung tersebut juga membuat pekerja proyek ini mengetahui kapan gajah-gajah tersebut mendekati wilayah berpenduduk dan memungkinkan untuk menghalau mereka sebelum masalah muncul. Adopsi mulai dari A$65 (sekitar Rp 670.000) dan termasuk kabar terbaru yang rutin dikirim mengenai tiap gajah lewat data GPS.
Sumber : http://www.antaranews.com/berita/364699/ingin-peliharaan-pungutlah-gajah-indonesia

Minggu, 19 Mei 2013

Kartini Sang Feminis Awal

-- Iwan Nurdaya-Djafar


KARTINI telah menjadi sumber ilham yang tak pernah kering. Hidupnya penuh warna. Selain personanya, hidupnya yang sarat dengan persoalan pun merupakan bahan kajian yang menarik. Kecerdasannya luar biasa. Penguasaan terhadap bahasa Belanda, kepekaan batin, serta kemampuan imajinasinya, telah menampilkan Kartini sebagai cendekiawan yang resah. Kartini adalah jiwa yang menyaksikan kebangkitan sebuah masyarakat yang terlalu lama menderita sengsara. Ia sendiri menjadi bagian, bahkan salah seorang yang ingin memulai kebangkitan itu.

Menurut Goenawan Mohamad, Kartini adalah satu tokoh epik dan tokoh tragis sekaligus. Dalam pelbagai segi ia memenuhi syarat untuk itu: perempuan rupawan, cerdas, perseptif, pemberontak tapi juga anak Bupati Jawa, penuh cita-cita pengabdian tapi juga lemah hati, dan sementara itu terpojok, kecewa, terikat, dan akhirnya meninggal.

Kartini tidak dikaruniai umur panjang, hanya 25 tahun 5 bulan. Lahir pada 21 April 1879 dan meninggal pada 17 September 1904. Tetapi, umur yang pendek itu sempat menggoreskan sebuah riwayat yang dikenal banyak orang. Ia dikenal lantaran surat-suratnya yang mampu menggerakkan hati setiap pembacanya.

?Yang menarik dalam surat-surat Kartini bukanlah cuma isinya, melainkan juga gayanya. Bahasanya seperti ombak dengan badai yang terkadang tak segera kelihatan. Tak datar. Kita mendapatkan ekspresi hiperbolik di pelbagai sudut, terutama ketika ia dengan antusias melukiskan sesuatu atau menyanjung seseorang yang dicintainya. Pelbagai kalimat seakan-akan harus berhenti dengan tanda seru,? puji Goenawan Mohamad dalam esainya bertajuk Monginsidi, Chairil, Kartini (Tokoh + Pokok, 2011, 44)

Poligini, Pendidikan, dan Emansipasi

Kritik Kartini terhadap agama Islam, sebagaimana diajarkan dan dipraktikkan pada masa itu, menjadi semakin keras dan tajam ketika ia semakin tenggelam dalam persoalan mengenai poligini. Kebiasaan berpoligini dalam masyarakat, khususnya di kalangan bangsawan, adalah musuh besar Kartini.

Kartini menganggap poligini adalah suatu dosa dan aib karena poligini memperlakukan kaum wanita dengan sewenang-wenang, seperti terlihat dalam tulisannya yang tajam, ?? dan mengawininya secara sah sesuai dengan hukum Islam. Dan siapa yang tidak melakukan hal itu? Dan mengapa orang tidak berbuat demikian? Itu bukan dosa, bukan pula aib; ajaran Islam mengizinkan kaum lelaki kawin dengan empat orang wanita sekaligus. Meskipun hal ini seribu kali tidak boleh disebut dosa menurut hukum dan ajaran Islam, selama-lamanya saya tetap menganggapnya dosa. Semua perbuatan yang menyebabkan semua manusia menderita, saya anggap sebagai dosa. Dosa ialah menyakiti makhluk lain; manusia atau binatang. Dan dapatkah kamu membayangkan siksaan yang harus diderita seorang perempuan jika suaminya pulang bersama perempuan lain sebagai saingannya yang harus diakuinya sebagai istrinya yang sah? Suami dapat menyiksanya sampai mati, menyakitinya sesukanya. Kalau ia tidak hendak menceraikannya, sampai mati pun perempuan itu tidak akan memperoleh hak! Semua untuk kaum lelaki dan tidak ada sesuatu pun untuk kaum perempuan, itulah hukum dan ajaran kami.?

Poligini yang dipandang halal oleh fikih lama, berdasarkan kajian Siti Musdah Mulia dalam bukunya Islam Menggugat Poligami (Gramedia Pustaka Utama, 2004) justru dinyatakan haram lighairih (haram karena eksesnya). Beberapa negara muslim semisal Turki melalui UU Civil Turki 1926 dan Tunisia melalui Majalat Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah No. 66 Tahun 1956 yang telah diubah beberapa kali terakhir pada 1993, melarang poligini!

Perhatian Kartini bahkan melebar kepada persoalan masyarakat seperti misalnya penyakit masyarakat pada zamannya di Jawa, yaitu kebiasaan mengisap candu yang menghabiskan daya hidup rakyat Jawa. Kartini menulis dengan sengit, ?Kejahatan yang jauh lebih jahat dari alkohol ada di sini! Yaitu candu. Aduh! Tak terkatakan kesengsaraan yang dibawa oleh barang laknat itu di atas negeri saya, pada bangsa saya. Candu adalah penyakit sampar Pulau Jawa. Ya, candu lebih ganas dari penyakit pes. Penyakit pes tidak kekal, pada suatu ketika penyakit itu surut, tapi kejahatan yang ditimbulkan oleh candu bertambah lama bertambah besar. Makin lama makin meluas dan tidak pernah akan lenyap, hanya karena diawasi oleh pemerintah. Makin banyak orang mengisap candu di Jawa, akan makin punahlah kantong milik negara. Cukai candu adalah salah satu sumber penghasilan yang melimpah bagi pemerintah Hindia-Belanda. Tidak peduli apa yang terjadi pada rakyat, baik atau buruk pokoknya -- pemerintah beruntung, itu yang penting. Kebiasaan yang buruk itulah yang mengisi dompet pemerintah Hindia-Belanda dengan beratus-ratus ribu, berjuta-juta uang emas.

Kesadaran Kartini atas bahaya candu tentu tiada bedanya dengan kesadaran kita akan bahaya narkoba pada saat ini. Tak pelak, Kartini telah pula menempatkan dirinya sebagai seorang kritikus sosial, bukan sebatas feminis yang kritis dengan persoalan-persoalan keperempuanan belaka. Hari kelahirannya dirayakan sebagai Hari Kartini oleh bangsa Indonesia, sayangnya kebanyakan perempuan Indonesia kurang memahami hakikat perjuangan Kartini manakala bentuk perayaannya diapresiasi dalam bentuk kegiatan yang remeh dan melecehkan, semisal lomba sanggul Kartini!

'Feminis' Awal

Menurut A. Nunuk P. Murniati, pada zamannya Kartini terpengaruh paham feminisme liberal. Kelompok ini memiliki asumsi bahwa ketidakadilan perempuan disebabkan oleh aturan atau hukum yang mengatur masyarakat. Perempuan didudukkan pada posisi subordinat. Dengan demikian, untuk meningkatkan kedudukan perempuan, mereka harus dididik.

Kartini, tak pelak, adalah pemikir feminisme Indonesia awal. Meskipun dia seorang putri priyayi toh dia tiada membanggakan diri sebagai keturunan bangsawan. "Aku rasa tidak ada hal yang lebih menggelikan dan bodoh daripada orang yang membiarkan dirinya dihormati hanya karena ia keturunan bangsawan," tulisnya seraya mengimbuhkan, "Panggil aku Kartini saja, itu namaku."

Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 April 2013

Sabtu, 18 Mei 2013

Asal Mula Keruwetan Pengelolaan Kawasan Hutan Lanskap Bukit Tigapuluh


Area BekasTebangan di Sekitar Bukit Tigapuluh (Dok : Pribadi)
Rusaknya hutan lanskap Bukit Tigapuluh bermula ketika kawasan itu diserahkan kepada PT Industries et Forest Asiatiques (IFA), HPH yang berada dibawah naungan Barito Pasific Group. Menteri Kehtanan mengeluarkan perpanjangan izin HPH PT IFA di Provinsi Jambi dan Riau berdasarkan SK Menhut No.608/Menhut-VI/1993 terhitung tanggal 17 juli 1998 - 16 Juli 2008 dengan PT IFA Jambi (Blok Pasir Mayang) Kabupaten Tebo seluas 108.000 ha dan PT IFA Riau (Blok Rengat) Kabupaten IndragiriHulu seluas 70.000 ha. Namun September 2001 PT IFA menyerahkan pengelolaan areal konsesinya kepada pemerintah.
Setelah penyerahan inilah kemudian terjadi tumpang tindih pengelolaan kawasan eks IFA baik yang berada di Jambi maupun yang berada di Riau, dengan terbitnya sejumlah perizinan. Sedikitnya ada 8 perizinan yang keluar dari wilayah ini. Belakangan Menteri Kehutanan mencabut dan meminta meninjau ulang beberapa diantara izin tersebut. Sampai sekarang kawasan eks PT IFA itu masih menunggu proses penetapan status baru oleh Menteri Kehutanan Lanskap Hutan Bukit Tigapuluh merupakan blok hutan alam yang bersambungan seluas 507.814,78 ha, terdiri dari hutan dataran rendah keringa dan peguanungan. Lanskap bukit Tigapuluh dan Lanskap Hutan Tesso Nilo merupakan kawasan akhir yang tersisa dari hutan dataran rendah kering yang saling bersambungan di Pulau Sumatera. Kawasan ini dapat dikaterogikan hampir "punah" di Sumatera. Sebelumnya Bukit Tigapuluh relatif aman dari konservasi skala besar karena topografinya yang berbukit, kondisi hutannya juga masih relatif baik. Namun kini terancam akibat kehadiran sejumalah perusahaan dan terbukanya akses karena pembukaan koridor.
Keadaan ini mendorong terjadinya okupasi lahan yang dilakukan oleh masyarakat. Akibatnya terjadi open acces resources tragedi (tragedi akses sumberdaya alam yang terbuka). Perlindungan dan pengamanan yang maksimal, harusnya menjadi pilihan mutlak yang harus dilakukan, jika tidak maka hamparan hutan dataran rendah Sumatera dengan nilai konservasi tinggi ini akan tinggal kenangan, disusul dengan bencana lingkungan akibat rusaknya ekologi. (Sumareni-KKI Warsi)

Selasa, 30 April 2013

Meretas Jalan Panjang di Blora


Segelas white coffe masih menyisakan beberapa tegukan. Sendiri dalam ruangan berukuran 4x5 meter membawa kenangan saya beberapa tahun lalu di Tanah Blora. Sebuah Kebupaten Miskin di Jawa yang memiliki kekayaan alam luar biasa. Kabupaten yang 65 % wilayahnya merupakan hutan Jati ini merupakan penghasil minyak bumi cukup besar yang dikenal sebagai Blok Cepu yang saat ini dikuasai oleh Epson Mobile. Namun ironisnya masyarakat Blora hanya sedikit menikmati hasil kekayaan alamnya. Masyarakat Blora juga terkenal dengan Ajran Samin, sebuah ajaran kebatinan yang mengenai budi pekerti manusia. Ajaran ini terkenal dengan konsep Kawulo Manunggaling Gusti Sangkan paraning Dumadi. Konsep ini mirip dengan ajaran Syekh Siti Jenar yang juga mengajarkan mengenai Kawulo Manunggaling Gusti. Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya. Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal darirohTuhan. Ajaran samin diajarkan oleh Samin Surosentiko, lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Raden Kohar mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah sebuah nama yang memiliki konotasi wong cilik. Gerakan Samin pada waktu itu kental dengan perlawanan mealawan Belanda. Gerakan samin yang terus berkembang dan bertambah banya pengikutnya menolak untuk membayar pajak. Gerakan perlawanan kekerasan ini membuat belanda resah dan akhirnya melalui Raden Pranolo, asisten wedana Randublatung, Samin Surosentiko ditangkap dan dibuang keluar Jawa hingga wafat pada tahun 1914. Namun, walalupun begitu gerakan samin masih tetap berkembang hingga saat ini. Hal itulah kemudian yang menjadi ketertarikanku ketika mendengar Blora. Ketika sudah menginjakan kaki di Blora maka tujuanku pertama kali adalah menggali informasi mengenai ajaran samin secara langsung.
Bangunan unik masyarakat samin, terbuat dari daun jati

Untuk menuju ke Blora, biasanya ada dua rute yang biasanya digunakan, pertama melalui arah solo dan kedua melalui arah semarang. Dari arah semarang perjalanan dapat dilanjutkan menggunakan kereta api yang menuju arah Surabaya. Ada dua jenis kereta yang dapat  kita gunakan yaitu kereta api Kertajaya jurusan Jakarta Surabaya atau Blora Jaya Ekspres jurusan Semarang Bojonegoro/Cepu. Blora Jaya ekspres dapat menjadi pilihan yang tepat karena sealin lebih cepat kereta api ini nampaknya memang diperuntukan bagi para pekerja yang mencari nafkah diwilyah Cepu dan Bojonegoro. Industrialisasi terutama minyak memang menyerap banyak tenaga kerja di wilayah tersebut. Tiket Blora Jaya Ekspres dijual dengan harga Rp 28.000, tanpa tempat duduk, alias berebutan tempat duduk. Dari arah Semarang ada dua pemberangkatan yaitu pada jam 09.00 dan jam 17.00 WIB. Setiap akhir pekan, kereta ini akan penuh sesak dengan para buruh yang hendak pulang kekampung halamannya. Jika akan menuju Blora, maka kereta api tidak melewati kotanya, melainkan lewat Blora bagian Selatan. Dulu kereta api masih melewati kota, namun entah sejak tahun berapa rel kereta api disana tidak dipakai lagi, bahkan hingga sekarang masih ada bekaas stasiun yang kini dipakai sebagai terminal sementara atau tempat transit bus.
Saat pertama kali menuju kesana, saya berniat naik kereta api ini. Namun sialnya saya  baru sampai di stasiun Tawang Semarang pukul 09.30 WIB. Terpaksa saya menunggu kereta berikutnya pada pukul lima sore. Mumpung berada di Semarang, saya tak mau menyia-nyiakan waktuku begitu saja. Aku mengontak beberapa temanku untuk memberikan referensi tempat-tempat menarik yang dapat aku kunjungi. Ada beberapa tempat yang menjadi pilihan, Simpang Lima, Lawang Sewu, Tugu Muda dan Gereja Blendug.  Akhirnya pilihan  jatuh ke Simpang Lima. Seringkali saya menonton di Televisi mengenai keramaian Simpang Lima yang membuat saya  penasaran untuk melihat secara langsung tempat ini. Untuk menghindari nyasar, saya memilih menggunakan becak untuk mengantar kesana dengan ongkos sepuluh ribu rupiah. Sesampai di Simpang lima, ada banyak pilihan temapat untuk dikunjungi, dari Gramedia sampai Citraland mall, Robinsondan Matahari. Kesemuanya tempat-tempat yang mengharuskan menguras isi kantong. Sayangnya para penjual kaki lima yang dulunya ramai berdagang disini kini sudah dipindahkan ke kawasan Tugu Muda. Menjelang sore cukup sudah aku menikmati kota Semarang ini yang ternyata sangat panas, padahal banyak wilayah yang berupa perbukitan yang memang sudah beralih fungsi menjadi pemukiman super padat.
Suasana didalam kereta Blora Jaya Ekspres
Sesampai kembali di Stasiun Tawang dang mengantongi tiket menuju Blora saya bergegas untuk masuk kedalam dan menunggu kereta. Dan karena hari itu akhir pekan, nampaknya kereta ini akan sesak dipenuhi penumpang. Dan memang akhirnya saya harus berebutan tempat duduk, namun syukurnya saya bisa mendapat tempat duduk yang disediakan dengan model seat 2-2 dan disediakan juga tempat untuk bergantungan tangan disepanjang bagian tengahnya. Stasiun yang menjadi tujuanku adalah Stasiun Randublatung, satu stasiun sebelum stasiun terakhir yaitu Cepu. Perjalanan menuju Randublatung memakan waktu sekitar tiga setengan jam, dan saya baru sampai disana pukul setengah Sembilan malam. Tentunya sudah terlalu malam untuk melanjutkan perjalanan, mengingat lokasi tujuanku Desa Ttlogotuwung masih harus ditempuh sekitar satu jam perjalanan lagi melewati kawasan hutan jati. Akhirnya ssaya putuskan untuk bermalan di stasiun dan melanjutkan perjalanan pada esok harinya. Beruntung ada seorang tukang ojek yang menawarkan untuk bermalam di sebuah masjid di depan rumahnya, dan kekesokan harinya dia bersedia untuk mengantarkanku ke Desa Tlogotuwung. Karena tidak ada pilihan lain yang lebih baik lagi akhirnya saya menerima tawarannya.
Jalan menuju desa, dengan waktu tempuh 1-2 jam perjalanan
Selain ojek, transportasi lain yang dapat digunakan adalah mobil bak terbuka yang biasanya membawa sapi namun jarang sekali lewat. Ongkos ojek menuju ke desa cukup mahal Rp 40.000,- bagi masyarkat yang tidak mempunyai kendaraan bermotor sendiri tentunya kan sangat merepotkan. Untungnya jasa perkreditan sepeda motor yang sebenarnya mencekik leher bias diakses dengan mudah. Setidaknya itu menjadi pilihan yang tepat, mempermudah mobilitas masyarakat. Sepanjang perjalanan, mata akan disuguhi oleh pemandangan hamparan hutan jati yang sangat luas. Namun sayangnya wilayah ini juga menjadi korban penjarahan besar-besaran paska reformasi. Sejumlah hutan di jawa terut menjadi korban korban termasuk di wilayah blora ini. Harapan untuk melihat hutan jati yang besar dan rimbun pupus sudah. Sepanjang perjalanan hanya ada pohon jati yang baru berusia 4 s/d 5 tahun. Sengatan panas metahari menjadi sangant terasa di wilayah ini, belum lagi debu yang berterbangan ditiup angin. Beberapa pohon jati yang besar masih sempat ditemui. Kebanyakan pohon-pohon tersebut tumbuh ditempat yang disakralkan seperti kuburan, orang tidak berani menjarah di tempat-tempat seperti ini. Mungkin seharusnya hutan disakralkan saja dan dibumbui mitos-mitos menakutkan sehingga orang tidak berani untuk merusak hutan. Sebenarnya di tradisi jawa sudah berkembang istilah "jangan masuk kehutan, wingit". Hal tersebut dimaksudkan agar hutan tetap terjaga lestari, namun karena nilai-nilai tersebut sudah luntur sepertinya usaha dan kesadaran yang besar untuk memperbaiki tatanan budaya kita menjaga lingkungan. 
Masyarakat menjemur jerami untuk makanan sapi
Memasuki wilayah perkampungan, akan melewati persimpangan, jika belok kiri dari arah Randublatung akan menuju Desa Tlogotuwung, Jika belok kanan akan menuju Desa Getas, dimana di Getas ini ada Kampus Lapangan Fakultas Kehutanan milik UGM. Jika mengambil jalan lurus maka akan mengantar kita ke Banjarejo, Ngawi, yang merupakan akses lain jika akan menuju Blora dari arah Selatan. Ojek yang saya naiki terus melaju ke arah Desa Tlogotuwung. Dari persimpangan ini jaraknya masih sekitar 5 km. Akhirnya saya memasuki gapura Desa Tlogotuwung, nampak rumah-rumah kayu khas jawa tertata rapi sepanjang jalan desa. Halaman luas dengan tumpukan jerami untuk makanan sapi. Saya langsung menuju rumah kepala desa, dari situ kemudian saya diantarkan menuju rumah Mbah Ngalim. Di rumah inilah saya akan tinggal. Seperti rumah - rumah lainnya rumah mba Ngalim terbuat dari kayu jati tua yang dirawat dengan bagus sehingga terlihat bagus dan enak dipandang mata. Saya dikejutkan, ketika mengunjungi beberapa rumah disini. Lazimnya, binatang peliharaan seperti ditempatkan di kandang tersendiri. Namun hal itu tidak untuk disini. Sapi-sapi peliharaan mereka ditempatkan jadi satu dengan rumah. Tidak hanya bau tentunya, hal itu juga tidak baik untuk kesehatan.
Mencangkul menjadi pekerjaan yang biasa bagi perempuan di Blora
Secara history, perkampungan disini awalnya adalah para blandong atau penebang kayu saat Belanda masih menguasai Indonesia dan akhirnya menetap dan beranak pinak. Perjalananku kemudian di tanah Blora ini banyak terlibat denga perempuan-perempuan desa. Setiapharinya, setelah menyelesaiakn pekerjaan rumah tangganya, perempuan-perempuan ini kemusian pergi ke ladang sekedar untuk membantu suami atau mencari kayu bakar. Tak sedikit dari mereka juga melakukan aktivitas yang lazimnya dilakukan laki-laki seperti mencangkul atau memotong kayu. Bu Suntini, ibu dengan seorang anak ini setiap harinya mengambil air yang lokasinya cukup jauh. Bagi Bu Suntini itu adalaj pekerjaaan yang sudah biasa dilakukan. Tak hanya mengurusi rumah tangga, Bu Suntini juga kadang harus iktu menopang ekonomi rumah tangga. Penghasilan suaminya yang bekerja sebagai petani seringkali tidak cukup utnuk mencukupi kebutuhan harian. Bersama dengan teman-temannya yang lain,Bu suntini mencoba membuat kue dan beberapa jenis makanan lainnya. Namun sayangnya akses transportasi yang susah, membuat Bu Suntini dan tetangga-tetangganya yang lain kesulitan untuk memasarkan dagangannya. Selain bergelut dengan aktivitas rumah tangganya, Bu Suntini juga memperjuangankan agar Desa memperhatikan hak-hak perempuan di desanya. Dia ingin agar pendapat perempuan juga didengarkan dan diakuai oleh masyarakat.Tak sedikit masyarakat yang memandang sebelah mata usahanya ini, karena memanga perempua desa biasanya selalu identik dengan sumur, kasur dan dapur. Blora tak hanya mengajarkan saya bagaimana perempuan miskin desa begitu tertinggal secara pendidikan dan kontrol sosial. Disini saya belajar, bahwa dibalik tubhnya yang lemah, perempuan memiliki kekuatan yang luar biasa.


Senin, 29 April 2013

Mengenal Lebih Dekat Sosok Sultan Thaha Syaifudin (1816 - 1904)

Sultan Thaha Syaifudin

Sepertinya Nama Sultan Thaha Syaifudin banyak diabadikan sebagai nama tempat atau jalan di Provinsi jambi ini. Ketika pesawat yang saya naiki mendarat di Bandara Sultah Thaha Jambi, saya terus bertanya-tanya siapakah Beliau hingga namamya diabadikan sebagai nama bandara. Namun Sayangnya tidak banyak referensi  yang cukup menjelaskan siapakah sosok yang cukup fenomenal ini di Jambi. 

Sultan Thaha Syaufudin merupakan Pahlawan nasional asal Jambi yang dilahirkan pada pertengahan tahun 1816 dengan nama asli Sultan Raden Toha Jayadiningrat yang saat kecil sering dipanggil Raden Thaha Ningrat. Saat dinobatkan menjadi sultan pada tahun 1855 usia Sultan Thaha masih tergoleng cukup muda, yakni 22 tahun. Sultan Thaha menggantikan Sultan sebelumnya yaitu Sultan Nazarudin. Berbeda dengan ayahnya, Sultan Fachruddin, Sultan Thaha justru memperlihatkan perlawanan secara frontal kepada Belanda. Pada 1834, ayahnya menandatangani kontrak kerjasama dengan Belanda.

Adapun Sultan Thaha, justru memakai taktik mengelak dan menghindar kontrak.  Sultan Thaha bahkan menolak semua pasal yang membatasi kekuasaan sultan. Junaidi T Noor, sejarawan dari Jambi menyebut Thaha berpantang berhadapan muka dengan Belanda.

Residen Palembang, PF Laging Tobias pada 1881 mendeskripsikan Thaha sebagai orang yang energik lagi bertempramen panas. Ia diluar "kebiasaan" Jambi yang lamban. Karenanyalah Sultan Thaha adalah musuh utama kolonial Belanda ketika itu, walaupun secara formal kekuasaan Thaha berakhir pada 1858. Tapi kurang lebih 40 tahun ia berjuang di belakang layar sebelum akhirnya mangkat pada April 1904.  pada pertempuran di Sungai Aro dan menjadi  sultan terakhir dari kesultanan jambi pada era itu.
Photo ini di dapat dari situs http://collectie.tropenmuseum.nl/
Dengan Judul Groepsportret met de Sultan van Djambi en zijn gevolg
(Potret Kelompok Sultan Jambi dan rombongannya)
Het originele bijschrift bij deze foto luidt: "De laatste sultan van Jambi met zijn gevolg". Mogelijk is hier Sultan Thaha Syaifuddin van Jambi (1816-1904) geportretteerd. Hij werd in 1904 gevangengenomen en gedood door Nederlandse militairen. Het huidige vliegveld bij de gelijknamige hoofdstad van het district Jambi is naar hem vernoemd.
(Keterangan asli untuk foto ini berbunyi: "sultan terakhir Jambi dengan rombongannya."Mungkin digambarkan di sini Sultan Thaha Syaifuddin Jambi (1816-1904) . Dia ditangkap dandibunuh pada tahun 1904 oleh tentara BelandaSaat ini bandara di ibukota Jambi dinamai menurut namanya.)

Sebagai sultan muda, dalam melawan Belanda ternyata Sultan Thaha mencoba membuka jejaring ke sultan Turki. Sebuah terobosan yang boleh jadi belum dicoba oleh para pendahulunya. Ibu Sultan Thaha yang keturunan Arab menurut Scholten memberi andil soal keputusan sultan muda ini untuk meminta dukungan diplomatik dari kesultanan Turki. Langkah ini, pada 1873 diikuti pula oleh kesultanan Aceh. BuktiuUsaha diplomatik itu dapat dilihat dari adanya kalung bintang kejora yang merupkan pemberian dari Khalifah Utsmani di Turki untuk Sultan Thaha melalu utusannya. Saat ini kalung bIntang kejoran tersebut disempan di Museum Siginjei Jambi.

Sultan Thaha Syaifudin dimakamkan di tengah kota Muaro Jambi. Namun ada versi lain yang menyebutkan lokasi yag berbeda mengenai letak lokasi makan Sultah Thaha Syaifudin. Versi lainnya mengatakan makam sang sultan ada di Desa Betung Berdarah, Kecamatan Tebo Ilir. Versi ini mengatakan Sultan Thaha yang sudah uzur tertembak oleh Belanda dalam sebuah pertempuran. Dalam keadaan luka parah, sultan dilarikan oleh pasukannya.

Sultan kemudian meninggal dalam usia 88 tahun pada 1904 (beliau lahir di Jambi pada pertengahan1816). Oleh pengikutnya, beliau dimakamkan di Desa Betung Berdarah. Hingga sekarang, versi makam Betung Berdarah ini masih terus disebut-sebut dan dipercayai oleh cukup banyak orang.

Versi lainnya adalah adalah Sebuah Makam yang berlokasi di Dusun Tanah Garo, Olak Kemang, Kecamatan Muara Tabir, Tebo. Tak hanya makam sang sultan, di lokasi yang sama juga ada beberapa makam lainnya yang disebut-sebut sebagai hulu balangnya. (Leo)