Selasa, 30 April 2013

Meretas Jalan Panjang di Blora


Segelas white coffe masih menyisakan beberapa tegukan. Sendiri dalam ruangan berukuran 4x5 meter membawa kenangan saya beberapa tahun lalu di Tanah Blora. Sebuah Kebupaten Miskin di Jawa yang memiliki kekayaan alam luar biasa. Kabupaten yang 65 % wilayahnya merupakan hutan Jati ini merupakan penghasil minyak bumi cukup besar yang dikenal sebagai Blok Cepu yang saat ini dikuasai oleh Epson Mobile. Namun ironisnya masyarakat Blora hanya sedikit menikmati hasil kekayaan alamnya. Masyarakat Blora juga terkenal dengan Ajran Samin, sebuah ajaran kebatinan yang mengenai budi pekerti manusia. Ajaran ini terkenal dengan konsep Kawulo Manunggaling Gusti Sangkan paraning Dumadi. Konsep ini mirip dengan ajaran Syekh Siti Jenar yang juga mengajarkan mengenai Kawulo Manunggaling Gusti. Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya. Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal darirohTuhan. Ajaran samin diajarkan oleh Samin Surosentiko, lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Raden Kohar mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah sebuah nama yang memiliki konotasi wong cilik. Gerakan Samin pada waktu itu kental dengan perlawanan mealawan Belanda. Gerakan samin yang terus berkembang dan bertambah banya pengikutnya menolak untuk membayar pajak. Gerakan perlawanan kekerasan ini membuat belanda resah dan akhirnya melalui Raden Pranolo, asisten wedana Randublatung, Samin Surosentiko ditangkap dan dibuang keluar Jawa hingga wafat pada tahun 1914. Namun, walalupun begitu gerakan samin masih tetap berkembang hingga saat ini. Hal itulah kemudian yang menjadi ketertarikanku ketika mendengar Blora. Ketika sudah menginjakan kaki di Blora maka tujuanku pertama kali adalah menggali informasi mengenai ajaran samin secara langsung.
Bangunan unik masyarakat samin, terbuat dari daun jati

Untuk menuju ke Blora, biasanya ada dua rute yang biasanya digunakan, pertama melalui arah solo dan kedua melalui arah semarang. Dari arah semarang perjalanan dapat dilanjutkan menggunakan kereta api yang menuju arah Surabaya. Ada dua jenis kereta yang dapat  kita gunakan yaitu kereta api Kertajaya jurusan Jakarta Surabaya atau Blora Jaya Ekspres jurusan Semarang Bojonegoro/Cepu. Blora Jaya ekspres dapat menjadi pilihan yang tepat karena sealin lebih cepat kereta api ini nampaknya memang diperuntukan bagi para pekerja yang mencari nafkah diwilyah Cepu dan Bojonegoro. Industrialisasi terutama minyak memang menyerap banyak tenaga kerja di wilayah tersebut. Tiket Blora Jaya Ekspres dijual dengan harga Rp 28.000, tanpa tempat duduk, alias berebutan tempat duduk. Dari arah Semarang ada dua pemberangkatan yaitu pada jam 09.00 dan jam 17.00 WIB. Setiap akhir pekan, kereta ini akan penuh sesak dengan para buruh yang hendak pulang kekampung halamannya. Jika akan menuju Blora, maka kereta api tidak melewati kotanya, melainkan lewat Blora bagian Selatan. Dulu kereta api masih melewati kota, namun entah sejak tahun berapa rel kereta api disana tidak dipakai lagi, bahkan hingga sekarang masih ada bekaas stasiun yang kini dipakai sebagai terminal sementara atau tempat transit bus.
Saat pertama kali menuju kesana, saya berniat naik kereta api ini. Namun sialnya saya  baru sampai di stasiun Tawang Semarang pukul 09.30 WIB. Terpaksa saya menunggu kereta berikutnya pada pukul lima sore. Mumpung berada di Semarang, saya tak mau menyia-nyiakan waktuku begitu saja. Aku mengontak beberapa temanku untuk memberikan referensi tempat-tempat menarik yang dapat aku kunjungi. Ada beberapa tempat yang menjadi pilihan, Simpang Lima, Lawang Sewu, Tugu Muda dan Gereja Blendug.  Akhirnya pilihan  jatuh ke Simpang Lima. Seringkali saya menonton di Televisi mengenai keramaian Simpang Lima yang membuat saya  penasaran untuk melihat secara langsung tempat ini. Untuk menghindari nyasar, saya memilih menggunakan becak untuk mengantar kesana dengan ongkos sepuluh ribu rupiah. Sesampai di Simpang lima, ada banyak pilihan temapat untuk dikunjungi, dari Gramedia sampai Citraland mall, Robinsondan Matahari. Kesemuanya tempat-tempat yang mengharuskan menguras isi kantong. Sayangnya para penjual kaki lima yang dulunya ramai berdagang disini kini sudah dipindahkan ke kawasan Tugu Muda. Menjelang sore cukup sudah aku menikmati kota Semarang ini yang ternyata sangat panas, padahal banyak wilayah yang berupa perbukitan yang memang sudah beralih fungsi menjadi pemukiman super padat.
Suasana didalam kereta Blora Jaya Ekspres
Sesampai kembali di Stasiun Tawang dang mengantongi tiket menuju Blora saya bergegas untuk masuk kedalam dan menunggu kereta. Dan karena hari itu akhir pekan, nampaknya kereta ini akan sesak dipenuhi penumpang. Dan memang akhirnya saya harus berebutan tempat duduk, namun syukurnya saya bisa mendapat tempat duduk yang disediakan dengan model seat 2-2 dan disediakan juga tempat untuk bergantungan tangan disepanjang bagian tengahnya. Stasiun yang menjadi tujuanku adalah Stasiun Randublatung, satu stasiun sebelum stasiun terakhir yaitu Cepu. Perjalanan menuju Randublatung memakan waktu sekitar tiga setengan jam, dan saya baru sampai disana pukul setengah Sembilan malam. Tentunya sudah terlalu malam untuk melanjutkan perjalanan, mengingat lokasi tujuanku Desa Ttlogotuwung masih harus ditempuh sekitar satu jam perjalanan lagi melewati kawasan hutan jati. Akhirnya ssaya putuskan untuk bermalan di stasiun dan melanjutkan perjalanan pada esok harinya. Beruntung ada seorang tukang ojek yang menawarkan untuk bermalam di sebuah masjid di depan rumahnya, dan kekesokan harinya dia bersedia untuk mengantarkanku ke Desa Tlogotuwung. Karena tidak ada pilihan lain yang lebih baik lagi akhirnya saya menerima tawarannya.
Jalan menuju desa, dengan waktu tempuh 1-2 jam perjalanan
Selain ojek, transportasi lain yang dapat digunakan adalah mobil bak terbuka yang biasanya membawa sapi namun jarang sekali lewat. Ongkos ojek menuju ke desa cukup mahal Rp 40.000,- bagi masyarkat yang tidak mempunyai kendaraan bermotor sendiri tentunya kan sangat merepotkan. Untungnya jasa perkreditan sepeda motor yang sebenarnya mencekik leher bias diakses dengan mudah. Setidaknya itu menjadi pilihan yang tepat, mempermudah mobilitas masyarakat. Sepanjang perjalanan, mata akan disuguhi oleh pemandangan hamparan hutan jati yang sangat luas. Namun sayangnya wilayah ini juga menjadi korban penjarahan besar-besaran paska reformasi. Sejumlah hutan di jawa terut menjadi korban korban termasuk di wilayah blora ini. Harapan untuk melihat hutan jati yang besar dan rimbun pupus sudah. Sepanjang perjalanan hanya ada pohon jati yang baru berusia 4 s/d 5 tahun. Sengatan panas metahari menjadi sangant terasa di wilayah ini, belum lagi debu yang berterbangan ditiup angin. Beberapa pohon jati yang besar masih sempat ditemui. Kebanyakan pohon-pohon tersebut tumbuh ditempat yang disakralkan seperti kuburan, orang tidak berani menjarah di tempat-tempat seperti ini. Mungkin seharusnya hutan disakralkan saja dan dibumbui mitos-mitos menakutkan sehingga orang tidak berani untuk merusak hutan. Sebenarnya di tradisi jawa sudah berkembang istilah "jangan masuk kehutan, wingit". Hal tersebut dimaksudkan agar hutan tetap terjaga lestari, namun karena nilai-nilai tersebut sudah luntur sepertinya usaha dan kesadaran yang besar untuk memperbaiki tatanan budaya kita menjaga lingkungan. 
Masyarakat menjemur jerami untuk makanan sapi
Memasuki wilayah perkampungan, akan melewati persimpangan, jika belok kiri dari arah Randublatung akan menuju Desa Tlogotuwung, Jika belok kanan akan menuju Desa Getas, dimana di Getas ini ada Kampus Lapangan Fakultas Kehutanan milik UGM. Jika mengambil jalan lurus maka akan mengantar kita ke Banjarejo, Ngawi, yang merupakan akses lain jika akan menuju Blora dari arah Selatan. Ojek yang saya naiki terus melaju ke arah Desa Tlogotuwung. Dari persimpangan ini jaraknya masih sekitar 5 km. Akhirnya saya memasuki gapura Desa Tlogotuwung, nampak rumah-rumah kayu khas jawa tertata rapi sepanjang jalan desa. Halaman luas dengan tumpukan jerami untuk makanan sapi. Saya langsung menuju rumah kepala desa, dari situ kemudian saya diantarkan menuju rumah Mbah Ngalim. Di rumah inilah saya akan tinggal. Seperti rumah - rumah lainnya rumah mba Ngalim terbuat dari kayu jati tua yang dirawat dengan bagus sehingga terlihat bagus dan enak dipandang mata. Saya dikejutkan, ketika mengunjungi beberapa rumah disini. Lazimnya, binatang peliharaan seperti ditempatkan di kandang tersendiri. Namun hal itu tidak untuk disini. Sapi-sapi peliharaan mereka ditempatkan jadi satu dengan rumah. Tidak hanya bau tentunya, hal itu juga tidak baik untuk kesehatan.
Mencangkul menjadi pekerjaan yang biasa bagi perempuan di Blora
Secara history, perkampungan disini awalnya adalah para blandong atau penebang kayu saat Belanda masih menguasai Indonesia dan akhirnya menetap dan beranak pinak. Perjalananku kemudian di tanah Blora ini banyak terlibat denga perempuan-perempuan desa. Setiapharinya, setelah menyelesaiakn pekerjaan rumah tangganya, perempuan-perempuan ini kemusian pergi ke ladang sekedar untuk membantu suami atau mencari kayu bakar. Tak sedikit dari mereka juga melakukan aktivitas yang lazimnya dilakukan laki-laki seperti mencangkul atau memotong kayu. Bu Suntini, ibu dengan seorang anak ini setiap harinya mengambil air yang lokasinya cukup jauh. Bagi Bu Suntini itu adalaj pekerjaaan yang sudah biasa dilakukan. Tak hanya mengurusi rumah tangga, Bu Suntini juga kadang harus iktu menopang ekonomi rumah tangga. Penghasilan suaminya yang bekerja sebagai petani seringkali tidak cukup utnuk mencukupi kebutuhan harian. Bersama dengan teman-temannya yang lain,Bu suntini mencoba membuat kue dan beberapa jenis makanan lainnya. Namun sayangnya akses transportasi yang susah, membuat Bu Suntini dan tetangga-tetangganya yang lain kesulitan untuk memasarkan dagangannya. Selain bergelut dengan aktivitas rumah tangganya, Bu Suntini juga memperjuangankan agar Desa memperhatikan hak-hak perempuan di desanya. Dia ingin agar pendapat perempuan juga didengarkan dan diakuai oleh masyarakat.Tak sedikit masyarakat yang memandang sebelah mata usahanya ini, karena memanga perempua desa biasanya selalu identik dengan sumur, kasur dan dapur. Blora tak hanya mengajarkan saya bagaimana perempuan miskin desa begitu tertinggal secara pendidikan dan kontrol sosial. Disini saya belajar, bahwa dibalik tubhnya yang lemah, perempuan memiliki kekuatan yang luar biasa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar