Jumat, 05 April 2013

Aren Dalam Tantangan Zaman


 
Pak Nur Sedang Menderes Aren
Kabut tebal yang turun belum sepenuhnya hilang.  Daun dan rerumputan masih Nampak basah. Burung-burung juga nampaknya enggan berkicau di tengah udara yang cukup dingin itu.  Sinar matahari yang samar-samar muncul sepertinya belum cukup untuk memberikan kehangatan setelah semalam diguyur hujan deras. Pak Nur Cahyo (54) bersama dangan belasan penderes aren lainnya di Dusun Deles Desa Sirongge sudah bersiap siap untuk mengambil hasil sadapannya yang semenjak sore sudah dipasang di pohon aren miliknya. Dingin dan tebalnya kabut pagi itu tidak menyurutkan niat Pak Nur untuk menderes. Hasil deresannya tersebut nantinya akan diserahkan kepada istrinya untuk diproses menjadi gula aren.
Penderes adalah istilah yang diberikan kepada para penyadap pohon aren untuk kemudian diolah menjadi gula. Menderes sudah menjadi pekerjaan yang menghidupi mereka selama puluhan tahun. Tidak jelas siapa yang mengawali aktivitas ini, namun dari menderes inilah masyarakat telah bertahan hidup. Dan masyarakat menyebutnya ini sebagai “air gaib”.  Hampir selama lima belas tahun ini Pak Nur sudah menderes pohon aren. Setiap pagi – pagi buta ia selalu pergi ke kebun dan hutan untuk mengambil hasil deresannya. Kemudian menngantinya dengan pongkor atau tempat penampung  nira yang masih kosong untuk kembali diambil pada sore harinya. Jadi dalam sehari pohon aren dapat disadap selama dua kali. Tak banyak nira yang diperoleh oleh Pak Nur pada pagi ini. Pada musim-musim peralihan cuaca seperti ini memang produktivitas nira sedang menurun. Kualitas nira yang dihasilkan juga jelek. Sehingga sering juga gula yang dihasilkan gagal atau disebut sebagai “gula gemblung”.
Pada sekitar tahun 90-an masih banyak terdapat penderes aren. Pohon aren yang tumbuh pun masih sangant banyak. Hampir setiap rumah mempunyai pohon aren. Namun saat ini hanya tingggal beberapa puluh saja yang tersisa. Pohon arennya pun tinggal sedikit. Semakin menurunnya produktivitas pohon dan sangat minimnya regenerasi penderes baru menyebabkan aktivitas menderes aren semakin sedikit. Banyak masyarakat yang memilih untuk menjual pohon arennya karena banyak pihak yang mengincar pohon aren untuk diambil sari tepungnya atau yang disebut “gelang”. Satu pohon aren dewasa dijual 100 s/d 200 ribu rupiah. Selain itu masalah budidaya tanaman yang masih alami. Persebaran tanaman ini masih mengandalkan Luwak sebagai medianya. Sementara populasi hewan luwak ini juga semakin langka. Bahkan di beberapa desa seperti Desa Beji dan Getas, jumlah pohon aren hampir habis karena adanya alih fungi menjadi perkebunan teh melalui program PIR yang digalakan oleh Dinas perkebunana waktu itu.
Harga satu kilogram gula aren saat ini dipasar mencapai Rp 15.000. namun kadang belum samapi dijual ke pasar, gula aren sudah habis dibeli oleh para tetangga atau pesanan. Banyak orang yang memanfaatkan gula aren ini sebagai campuran jamu atau sekedar bumbu pemanis dapur. Namun banyak pihak juga terutama penampung-penampung di pasar yang memanfaatkan tingginya permintaan pasar. Semntara ketersediaan gula aren semakin sedikit. Sehingga banyak penampung yang mencampur gula aren dengan gula kelapa atau bahkan dicampur dengan terigu. Hal ini yang menyebabkan harga gula aren tidak kunjung merangkak naik. Karena minimnya kepercayaan pasar terhadap kualitas gula aren.
Mendekati tengah hari gula yang “diindel” (istilah untuk mengolah nira menjadi gula; merebus nira hingga mengental kemudian dicetak) hampir jadi. Tak banyak nira yang direbus karena memang jumlah yang didapat juga sedikit. Mungkin hanya menghasilkan 2 – 3 kg gula aren. Padahal biasanya Pak Nur Bisa memproduksi 5 – 6 kg bahkan bisa lebih di saat-saat tertentu. Gula yang dihasilkan juga jelek, berwarna hitam kusam. Gula yang baik berwarna coklat cerah. Kondisi nira seperti itu memang riskan. Untuk menghindari terjadinya gula gemblung Istri Pak Nur biasanya menambahkan semacam bubuk pengeras yang berbentuk seperti tepung terigu. Bubuk ini merupakan natrium bizulfit yang digunakan untuk mengeraskan gula dan mencegah nira menjadi asam. Pemakaian obat ini dalam takaran yang melebihi batas sangat membahayakan kesehatan. “kalau terus menerus menggunakan obat ini biasanya wajan menjadi keropos dan tipis” terang Pak Nur disela-sela obrolan santai sambil menikmati wajik gula aren yang disuguhkan. Wajik ini juga menjadi khas makanan masyarakat pandanarum dan Kalibening.
Sudah banyak pihak yang beberapa kali mengadakan kegiatan untuk mendorong peningkatan mutu kualitas gula aren. Diantaranya adalah diversifikasi produk menjadi gula semut. Diharapakan dengan divesifikasi produk ini maka kulaitas gula aren dapat ditingkatkan sehingga akan menaikan harga gula. LPPSLH  dengan pengalamannya dalam pengorganisasian gula kelapa melalui sertifikasi organik. Sertifikasi menjadi persyaratan utama untuk bisa menembus pasar luar negeri.
Dusun deles menjadi salah satu dari beberapa dusun saja yang masih mengakrabi aren sebagai pencaharian hidup. Dusun ini terletak jauh dari jalan utama. Jalan yang dikeraskan menjadi satu-satunya akses jalan menuju kesana. Pohon aren nampak terlihat banyak sepanjang mata memandang. Tak jarang jika kita berjalan disana pada sore atau pagi hari akan menemui banyak sosok  laki-laki yang sudah termakan usia sedang memikul pongkor tempat nira. Minimnya regenerasi dari pemuda-pemuda desa memang menyebabkan aktivitas menderes ini hanya dilakaukan oelh orang – orang tua. Sementara pemuda desa lebih suka merantau ke kota.
Bu Daryonah masih mencoba mengingat aktivitasnya dulu saat setiap pagi merebus nira dan mencataknya jadi gula aren. Bu Daryonah juga menjadi  salah satu kader dalam kegiatan pembuatan gula semut. Sambil menyeruput teh panas dalam gelasnya Bu Daryonah menceritakan bagaimana kesibukannya dulu membuat gula semut, mendapat banyak pesanan bahkan hingga diminta melatih tetangganaya yang ingin membuat gula semut. Namun semua itu kini tinggal cerita karena saat ini Suaminya berada di Jakarta bekerja. Pohon aren yang jadi miliknya sedang tidak mengeluarkan nira. Sementara Bu Daryonah saat ini sibuk mengelola kebun Cabai. Sepertinya menderes aren sedang mengahadapi tantangannya, atau hanya akan menjadi cerita untuk anak cucu bagi Pak Nur. (leo)
.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar