![]() |
Pak Nur Sedang Menderes Aren |
Kabut tebal yang turun belum sepenuhnya
hilang. Daun dan rerumputan masih Nampak
basah. Burung-burung juga nampaknya enggan berkicau di tengah udara yang cukup
dingin itu. Sinar matahari yang samar-samar
muncul sepertinya belum cukup untuk memberikan kehangatan setelah semalam
diguyur hujan deras. Pak Nur Cahyo (54) bersama dangan belasan penderes aren
lainnya di Dusun Deles Desa Sirongge sudah bersiap siap untuk mengambil hasil
sadapannya yang semenjak sore sudah dipasang di pohon aren miliknya. Dingin
dan tebalnya kabut pagi itu tidak menyurutkan niat Pak Nur untuk menderes.
Hasil deresannya tersebut nantinya akan diserahkan kepada istrinya untuk
diproses menjadi gula aren.
Penderes adalah istilah yang diberikan kepada
para penyadap pohon aren untuk kemudian diolah menjadi gula. Menderes sudah
menjadi pekerjaan yang menghidupi mereka selama puluhan tahun. Tidak jelas
siapa yang mengawali aktivitas ini, namun dari menderes inilah masyarakat telah
bertahan hidup. Dan masyarakat menyebutnya ini sebagai “air gaib”. Hampir selama lima belas tahun ini Pak Nur
sudah menderes pohon aren. Setiap pagi – pagi buta ia selalu pergi ke kebun dan
hutan untuk mengambil hasil deresannya. Kemudian menngantinya dengan pongkor
atau tempat penampung nira yang masih
kosong untuk kembali diambil pada sore harinya. Jadi dalam sehari pohon aren
dapat disadap selama dua kali. Tak banyak nira yang diperoleh oleh Pak Nur pada
pagi ini. Pada musim-musim peralihan cuaca seperti ini memang produktivitas
nira sedang menurun. Kualitas nira yang dihasilkan juga jelek. Sehingga sering
juga gula yang dihasilkan gagal atau disebut sebagai “gula gemblung”.
Pada sekitar tahun 90-an masih banyak terdapat
penderes aren. Pohon aren yang tumbuh pun masih sangant banyak. Hampir setiap
rumah mempunyai pohon aren. Namun saat ini hanya tingggal beberapa puluh saja
yang tersisa. Pohon arennya pun tinggal sedikit. Semakin menurunnya
produktivitas pohon dan sangat minimnya regenerasi penderes baru menyebabkan
aktivitas menderes aren semakin sedikit. Banyak masyarakat yang memilih untuk
menjual pohon arennya karena banyak pihak yang mengincar pohon aren untuk
diambil sari tepungnya atau yang disebut “gelang”. Satu pohon aren dewasa
dijual 100 s/d 200 ribu rupiah. Selain itu masalah budidaya tanaman yang masih
alami. Persebaran tanaman ini masih mengandalkan Luwak sebagai medianya.
Sementara populasi hewan luwak ini juga semakin langka. Bahkan di beberapa desa
seperti Desa Beji dan Getas, jumlah pohon aren hampir habis karena adanya alih
fungi menjadi perkebunan teh melalui program PIR yang digalakan oleh Dinas
perkebunana waktu itu.
Harga satu kilogram gula aren saat ini dipasar
mencapai Rp 15.000. namun kadang belum samapi dijual ke pasar, gula aren sudah
habis dibeli oleh para tetangga atau pesanan. Banyak orang yang memanfaatkan
gula aren ini sebagai campuran jamu atau sekedar bumbu pemanis dapur. Namun
banyak pihak juga terutama penampung-penampung di pasar yang memanfaatkan
tingginya permintaan pasar. Semntara ketersediaan gula aren semakin sedikit.
Sehingga banyak penampung yang mencampur gula aren dengan gula kelapa atau
bahkan dicampur dengan terigu. Hal ini yang menyebabkan harga gula aren tidak
kunjung merangkak naik. Karena minimnya kepercayaan pasar terhadap kualitas
gula aren.
Mendekati tengah hari gula yang “diindel”
(istilah untuk mengolah nira menjadi gula; merebus nira hingga mengental
kemudian dicetak) hampir jadi. Tak banyak nira yang direbus karena memang jumlah
yang didapat juga sedikit. Mungkin hanya menghasilkan 2 – 3 kg gula aren.
Padahal biasanya Pak Nur Bisa memproduksi 5 – 6 kg bahkan bisa lebih di
saat-saat tertentu. Gula yang dihasilkan juga jelek, berwarna hitam kusam. Gula
yang baik berwarna coklat cerah. Kondisi nira seperti itu memang riskan. Untuk
menghindari terjadinya gula gemblung Istri Pak Nur biasanya menambahkan semacam
bubuk pengeras yang berbentuk seperti tepung terigu. Bubuk ini merupakan
natrium bizulfit yang digunakan untuk mengeraskan gula dan mencegah nira
menjadi asam. Pemakaian obat ini dalam takaran yang melebihi batas sangat
membahayakan kesehatan. “kalau terus menerus menggunakan obat ini biasanya
wajan menjadi keropos dan tipis” terang Pak Nur disela-sela obrolan santai
sambil menikmati wajik gula aren yang disuguhkan. Wajik ini juga menjadi khas
makanan masyarakat pandanarum dan Kalibening.
Sudah banyak pihak yang beberapa kali
mengadakan kegiatan untuk mendorong peningkatan mutu kualitas gula aren.
Diantaranya adalah diversifikasi produk menjadi gula semut. Diharapakan dengan
divesifikasi produk ini maka kulaitas gula aren dapat ditingkatkan sehingga
akan menaikan harga gula. LPPSLH dengan
pengalamannya dalam pengorganisasian gula kelapa melalui sertifikasi organik.
Sertifikasi menjadi persyaratan utama untuk bisa menembus pasar luar negeri.
Dusun deles menjadi salah satu dari beberapa
dusun saja yang masih mengakrabi aren sebagai pencaharian hidup. Dusun ini
terletak jauh dari jalan utama. Jalan yang dikeraskan menjadi satu-satunya
akses jalan menuju kesana. Pohon aren nampak terlihat banyak sepanjang mata
memandang. Tak jarang jika kita berjalan disana pada sore atau pagi hari akan
menemui banyak sosok laki-laki yang
sudah termakan usia sedang memikul pongkor tempat nira. Minimnya regenerasi dari
pemuda-pemuda desa memang menyebabkan aktivitas menderes ini hanya dilakaukan
oelh orang – orang tua. Sementara pemuda desa lebih suka merantau ke kota.
Bu Daryonah masih mencoba mengingat
aktivitasnya dulu saat setiap pagi merebus nira dan mencataknya jadi gula aren.
Bu Daryonah juga menjadi salah satu
kader dalam kegiatan pembuatan gula semut. Sambil menyeruput teh panas dalam
gelasnya Bu Daryonah menceritakan bagaimana kesibukannya dulu membuat gula
semut, mendapat banyak pesanan bahkan hingga diminta melatih tetangganaya yang
ingin membuat gula semut. Namun semua itu kini tinggal cerita karena saat ini
Suaminya berada di Jakarta bekerja. Pohon aren yang jadi miliknya sedang tidak
mengeluarkan nira. Sementara Bu Daryonah saat ini sibuk mengelola kebun Cabai. Sepertinya
menderes aren sedang mengahadapi tantangannya, atau hanya akan menjadi cerita
untuk anak cucu bagi Pak Nur. (leo)
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar