Jumat, 05 April 2013

Seri Menggapai Atap Andalas : Kerinci, Atap Tertinggi Sumatra (Bag 3)



Sunrise terlihat dari shelter 3
Angin masih bertiup kencang, Terang cahaya bulan masih belum tergantikan sang surya. Hembusan angin yang menyeruak hingga masuk kedalam tenda menembus sleeping bag yang membungkus rapat tubuhku. Semalaman aku terjaga, rasa kantuk sepertinya sudah tersingkir jauh bersama tiupan angin. Dinginnya hembusan angin menggetarkan tubuh hingga tulang semmpat membuatku raguan untuk melanjutkan perjalanan sampai ke puncak. Untungnnya ada beberapa teman yang serta seorang pemandu yang sedang mmebawa seoarang turis asing perempuan yang juga hendak mencumbui atap tertinggi Sumatra ini. Aku sengaja menyisakan nasi tadi malam untuk pagi ini, dengan ditambah satu bungkus cornet sepertinya cukup untuk menjaga tubuhku tetap bertenaga. Beberapa potong roti, tali webbing dan jas hujan, serta kompor aku saipakan untuk perbekalan nanti.

Pukul empat pagi hari saya dan beberapa rombongan mulai menerobos gelap. Terang cahaya bintang dan sinar bulan masih nampak sayup sesekali hilang tertutup awan. Saya masih harus menuju shelter 3 dahulu sebelum memasuki jalur ke puncak yang sudah berupa bebatuan. Jalur yang ku lalui cukup terjal, seringkali juga saya harus melewati lorong-lorong yang sempit. untungnya ada banyak akar yang bisa menjadi pegangan dan tumpuan. Setelah menempuh sekitar setengh jam perjalanan akhirnya saya mencapai shelter 3. Tempat ini sangat terbuk, nampak ada beberapa teda yang didirikan disini. Dari kondisi tenda serta kain flysheet yang sudah tidak pada bentuknya sepertinya mereka pasti berjuang keras menghadapi tiupan angin.
Jalur menuju puncak Kerinci

Dari tempat ini puncak Kerinci terlihat jelas. Jalur untuk menggapai puncak berupa batuan dan pasir. Sebenarnya aku sudah tak asing lagi dengan jalur seperti  ini, hal yang biasa pada gunung-gunung berapi yang masih aktif. Saya dan beberapa rombongan lain terus menerobos hembusan angin yang  menggoyahkan kaki saya. Beberapa kali saya hampir terhempas keluar jalur semntara sebelah kanan kiri saya  berupa jurang yag curam. Jika saya tak sigap mungkin dasar jurang akan menjadi kuburan saya. Semakin naik keatas hembusan angin terasa semakin kuat, debu-debu pasir berterbangan menghantam mata. Sialnya saya tidak mengantisipasi hal seperti ini. jangankan untuk melangkah, membuka mata saja rasanya sulit sekali. Saya harus menunggu dala cerukan-cerukan berlindung dari angin, setelah cukup reda baru saya melangkahkan kaki saya. Cukup pelan memang namun ini jauh lebih baik daripada hanya diam menunggu.

Saya di puncak Kerinci
Akhirnya saya samapi juga di puncak tertinggi Pulau Sumatra ini. Sayangnya kabut tebal membatasi pandangan saya. Padaha jika cuaca cerah, kita bisa menyaksikan dananu gunnung 7 dan barisan pegunungan yang membentang di sisi barat. Agak sedikit mengecewakan memang namun bukan ini tujuan utama saya. Sebuah proses perjalanan, memanenjemen waktu dan persiapan mental menjadi pelajaran yang tak ternilaikan harganya. Saya tidak hanya sukses mendaki puncak gunung tertinggi tapi saya juga sukses mengelola diri saya atas waktu, kekhawatiran dan ketakutan. (leo) Melihat Kerinci, Atap Tertinggi Sumatra (Bag 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar