Kenapa banyak Pecinta Alam tersesat di Gunung ?? ini ada sedikit kopasan dari Dokter Cico seorang Dokter sekaligus Pecinta Alam Sejati di Indonesia..
Ketika tersesat di Gunung..
Dokter ahli bedah mayat yang akrab dipanggil dokter Cico ini
berpendapat, mi instan sangat cepat menarik cairan tubuh. Padahal,
pendaki gunung harus mengirit air yang ada di dalam tubuhnya
masing-masing. Akibat kekurangan cairan, pendaki kerap menjadi
kehilangan cara berpikir dan salah mengambil keputusan hingga
menyebabkan pendaki-pendaki tersesat.
"Produk mi instan memang tidak salah, tetapi manusia dalam hal ini
pendaki gunung sendirilah yang salah memanfaatkannya. Kalau sekadar
camping beberapa hari, mi instan memang sangat praktis untuk
mencegah lapar. Tetapi, bukan untuk bekal naik gunung yang bisa
memakan waktu berhari-hari," jelas Cico, yang sejak tahun 1990
menjadi dosen Fakultas Kedokteran bidang Forensik UKI Jakarta.
Karena asyiknya bergelut dengan masalah kecelakaan gunung ini,
dokter yang masih lajang kelahiran Jakarta ini mengatakan, siapa
pun akan mengakui bahwa tim Search and Rescue (SAR) Indonesia punya
kemampuan menemukan korban-korban di gunung, baik yang masih hidup
maupun yang tewas. Namun, setelah korban ditemukan, mereka bingung
menghadapi korban ini. Bahkan, luka-luka pun sering diabaikan.
KEPADA para pendaki Indonesia, Cico yang baru saja merampungkan
pelatihan di Miami, Amerika Serikat, untuk membuat standardisasi
pertolongan pertama kecelakaan gunung ini kerap mengingatkan, jika
tersesat di gunung, yang dibutuhkan bukan hanya makanan, tetapi
juga ketenangan, pertimbangkan stamina, dan berpikir jernih.
Cico menjelaskan, kita boleh nyasar, sebab dengan tersesat akan
menambah pengalaman. Lalu, menembus jalan sesat itu harus
dilakukan, sebab kita mempunyai pengetahuan dan keterampilan.
Namun, mati jangan sampai, sebelum kita memanfaatkan akal
pengetahuan dan keterampilan kita.
"Jadi, begitu hilang, pendaki gunung seharusnya memiliki tekad
dasar berupa kemauan untuk hidup, bukan sekadar tekad bagaimana
meloloskan diri dari lubang ketersesatan," ujarnya.
Ia mencatat, hampir 80 persen pencinta alam mati di gunung dalam
posisi istirahat. Karena sewaktu lelah, pendaki itu tidur dengan
badan yang tidak terisolasi dan cuaca sekeliling lebih rendah.
Akhirnya, cuaca itu mempengaruhi suhu tubuh hingga menyebabkan
tingkat kesadaran menurun drastis. Lalu, beristirahat selamanya.Mati.
Kelemahan pendaki gunung Indonesia adalah sikap kurang koreksi diri
terhadap kecelakaan sekecil apa pun. Mereka sering memandang diri
sebagai orang kuat. Contoh paling gampang, kalau kita bermain di air.
Sejago apa pun kita berenang, alat pelindung tetap harus
digunakan. Begitu pula pendaki yang kerap naik-turun gunung.
"Matinya sepele, akibat lelah, dia nyasar sampai kedinginan," ujar
pengamat kecelakaan gunung ini. Model yang kerap dipakai, jelasnya,
adalah jika cedera, kita masih mengatakan untung tidak mati.
SEKITAR 90 persen, kata Cico, kecelakaan gunung itu disebabkan oleh
kurangnya sikap antisipasi pendaki. Sebagai kaum muda, kita sulit
membedakan antara antusiasme dan keselamatan. Kedua faktor ini
memiliki garis tipis sekali. Antusias berarti keinginan melakukan
kegiatan di alam bebas, tanpa memperhatikan lagi faktor
keselamatan. Sedangkan, keselamatan jiwa yang seharusnya
diperjuangkan dalam kegiatan pendakian justru dianggap remeh.
Hal itu pun dialaminya sendiri, ketika Cico dinyatakan hilang
sedikitnya tiga kali berturut-turut di gunung yang berbeda di Jawa
Tengah. "Setahun sekali hilang," ujar Cico, yang baru saja
mengadakan studi banding di negara-negara ASEAN.
Tahun 1977, Cico dinyatakan hilang di Gunung Ungaran. Gara-gara
ingin mencari air untuk menolong teman-temannya, Cico yang waktu
itu juga sudah merasa lelah, tiba-tiba terpeleset hingga terperosok
ke jurang. "Untung, waktu itu nyangsang di pepohonan, meskipun
sempat tidak sadarkan diri," kenang Cico, begitu sadar dan
beristirahat sebentar, Cico berhasil menemukan senternya. Kemudian,
dia ingat teori pendakian yang diajarkan di kampus. Ia tidak lekas
turun, melainkan kembali mendaki untuk mencari tanah lapang agar
mudah memperoleh orientasi langkah selanjutnya. Kemudian, nyala
lampu senternya "dimainkan" untuk menunjukkan kepada penduduk
sekitar bahwa dirinya butuh pertolongan.
Lagi-lagi dia beruntung. Sewaktu mengirim sinyal lampu senter,
rombongan Pramuka mampu membacanya dan segera memberikan
pertolongan. "Maka selamatlah saya," ujarnya.
Pada tahun 1978, Cico pun hilang selama lima hari di Gunung
Sumbing. Waktu itu, Cico bersama kawan-kawannya naik dari daerah
Garum dan berencana turun melalui Bangsri. Sebagai pemula, ia
mengakui, kehilangannya itu akibat ulahnya sendiri. Ia tersesat
sendirian ketika hendak menyusul kawan-kawannya yang sudah mendaki
lebih dulu.
Karena sendirian, kata Cico, bekal makanan diirit-irit dalam
pendakian itu. "Saya hanya makan pakis, umbi-umbian, dan akar
alang-alang. Minumnya, saya menggunakan kain kasa steril dan sapu
tangan yang sudah diletakkan di atas rerumputan," jelas Cico.
Namun, ia tak lupa meninggalkan tanda-tanda dengan menggunakan batu
atau tumbuh-tumbuhan setiap melalui jalan pendakian itu.
Harapannya, ada tim SAR atau orang yang tetap mencarinya.
Tahun berikutnya, Cico hilang di Gunung Ciremai selama tiga hari
tiga malam. Waktu itu, Cico mendaki bersama empat kawannya. Usai
pendakian, mereka tersesat. Cico mengingatkan, sebaiknya kita
kembali naik, agar bisa memiliki orientasi lapangan. "Tetapi,
teman-teman saya bilang, ah... tanggung, kita jalan turun terus
saja. Jalan menurun itu pasti ke desa," kata Cico menirukan omongan
teman-temannya.
Ternyata, betul dugaan Cico. Jalan menurun belum tentu menuju desa,
tetapi justru menyebabkan kita terjebak di lembah. Mereka tersesat
di lembah tak berujung yang sulit untuk melakukan orientasi.
Karena sudah larut malam, mereka pun akhirnya mendekam di lembah
itu. Pagi harinya, mereka kembali mendaki untuk mencari dataran
tinggi. Dari sanalah, Cico melihat petak sawah yang tentu
mengindikasikan adanya kehidupan. Lalu, ia mengukur dengan kompas
dan alat pengukur ketinggian seadanya, barulah melangkah.
Hingga kini, Cico merasa prihatin, karena dokter-dokter yang
memiliki panggilan pertolongan pertama atas kecelakaan di gunung
sangat sedikit. Andaikan ada kadernya, itu pun kebanyakan wanita.
Ketika dokter wanita itu mulai berkeluarga, sayangnya mereka
menghentikan panggilan sebagai dokter kecelakaan gunung ini.
Cico berharap, dokter-dokter Indonesia sekali-kali turun kelapangan seperti begini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar