Kamis, 13 Desember 2012
Soe Hok Gie: Agama dalam Tantangan
Tanggal 24 Oktober 1968, saya keluyuran bersama Dave (Australia)
dan Mike (Selandia Baru) di kota Salem. Kami akan pergi ke ceramah Dr.
Leonard Adolf tentang Perang Vietnam, tetapi kami harus menunggu
kira-kira dua jam. Karena itu kami keluyuran melihat etalase toko, dan
makanan murah di cafe dan luntang-lantung biasa. Dekat kampus
Universitas Willamate terdapat sebuah toko Hippies yang masih ditutup.
Di toko ini dijual macam-macam: poster modern yang artistik, selendang
kaum Hippies, juga tas-tas kulit mereka yang sederhana. Mata saya agak
terbelalak, ketika saya melihat gambar Yesus pada sebuah poster yang
tertempel sebesar jendela. Bukan karena gambarnya, tetapi membaca
kata-katanya:
Beberapa rumah dari toko Hippies tadi terdapat sebuah gereja Kristen
(Christian Science), yang juga menjual brosur-brosur. Betapa
kontrasnya, yang satu membuat lelucon tentang Yesus, karena mereka
(orang-orang Hippies) merasa muak dengan sistem agama yang ada,
sedangkan yang lain mencoba mempengaruhi masyarakat dengan pola-pola
agama yang konvensional.
Waktu saya berada di Amerika, organisasi-organisasi agama sedang
mengalami krisis yang amat hebat. Pastor-pastor di Texas membuat
resolusi, meminta agar uskup agung mereka meletakkan jabatan (saya
ingat resolusi partai-partai politik). Gereja Katolik sedang pecah
belah, karena kelompok-kelompok yang progresif menentang keputusan Paus
Paulus yang dianggap kolot dalam soal pembatasan kelahiran. Krisis itu
begitu dalam, sehingga diadakan konferensi uskup-uskup di seluruh
Amerika di Washington, agar perpecahan gereja Katolik tidak
menjadi-jadi. Dan pada waktu konferensi berlangsung, pastor-pastor
progresif mengadakan demonstrasi duduk di lobi hotel, sambil main gitar
dan bernyanyi.
Suasana eksplosif ini tambah meledak, ketika Jacqueline Kennedy menikah
dengan Onassis, yang telah bercerai dengan istrinya. Menurut peraturan
gereja Katolik, perceraian dilarang. Hanya kematian yang dapat
menggugurkan perkawinan. Onassis, seorang kakek tua, yang menceraikan
istrinya, dan kemudian kawin dengan janda Presiden Kennedy yang
beragama Katolik. Menurut peraturan gereja, Jacqueline telah melanggar
dan harus dikeluarkan (sementara) dari lingkungan gereja. Apakah gereja
berani mengambil tindakan ini terhadap seorang tokoh publik, yang
secara sadar melanggarya (kalau yang melanggar seorang petani bukan
soal), dan kemudian dibela oleh Kardinal dari Boston, teman pribadinya.
Gereja Kristen Protestan yang memang telah terpecah-pecah itu, juga
mengalami hal yang sama. Di beberapa tempat, organisasi gereja adalah
refleksi dari masyarakatnya. Dalam suasana masyarakat yang konservatif
tadi (seperti di Afrika Selatan, gereja-gereja tertentu membenarkan
apartheid. Pernah terjadi, seorang pendeta yang ingin memelopori
pendekatan hitam dan putih di sebuah masyarakat yang konservatif,
mendapatkan mobilnya terbakar, ketika ia sedang berkhotbah.
Ada yang dipecat oleh pimpinan jemaat, karena sikapnya yang progresif.
Ketika saya di Salem, saya bermalam di sebuah keluarga Protestan. Pada
suatu hari, saya tanyakan pada ‘ibu’, mengapa keluarga mereka tak
pernah ke gereja pada hari Minggu.
“Gereja saya, gereja yang konservatif. Pendetanya mengajarkan kami
untuk membenci orang-orang Katolik. Saya kira bukan ini tujuan dari
agama, dan kita harus belajar menghormati orang lain. Di gereja, saya
tidak mendapatkan apa-apa, dan saya pikir tidak ada gunanya lagi pergi
ke sana.” Keluarga mereka adalah keluarga intelektual, yang merasakan
bahwa kebutuhan rohani mereka tidak dapat lagi dipuaskan oleh
organisasi-organisasi keagamaan yang ada.
Sebagai seorang yang juga mengalami ‘krisis kepercayaan’ pada
organisasi agama, saya selalu tertarik untuk bertemu dengan rekan-rekan
baru, dan mencoba mengerti apa yang sebenarnya terjadi di Amerika
sekarang. Agama Kristen pada awalnya adalah agama pembebasan, karena ia
mengajarkan, bahwa manusia pada hakikatnya adalah sama. Di sisi Allah,
tak ada orang kaya dan miskin, tak ada penguasa dan budak-budak. Karena
itu, agama ini dianut oleh para budak belian, orang-orang rendah yang
haus akan keadilan. Akhirnya agama ini tersebar ke Eropa, dan menjadi
agama masyarakat, termasuk kaum penguasa. Pada saat ini,
organisasi-organisasi agama (gereja) mengalami krisis utama. Di satu
pihak, ia adalah pelopor keadilan, tetapi di pihak lain ia menjadi alat
daripada penguasa.
Gereja menjadi tuan tanah, hakim kejam yang membakar orang
(inquisiusi), punya tentara pemeras, dan memberikan tafsiran-tafsiran
teologis, untuk membenarkan para penguasa. Yang saya maksudkan dengan
gereja, adalah organisasi dan manusia-manusianya, bukan teologinya.
Saya kira semua organisasi keagamaan, mengalami hal yang sama.
Budhisme di Tibet, Islam di Turki dengan bunuh-bunuhannya, dan
sekte-sekte lainnya.
Amerika Serikat dibangun, antara lain oleh pelarian-pelarian agama, dan
kaum intelektual yang lari dari Eropa. William Perm yang mendirikan
koloni di Pennsylvania, Roger William yang mendirikan Rhode Island,
orang-orang Mormon yang mendirikan koloni di Utah, adalah contoh-contoh
bagaimana Amerika telah menjadi tempat pelarian orang-orang tertindas
batiniah. Tradisi ini amat kuat di Amerika. Tradisi untuk selalu
bertanya tentang kebenaran-kebenaran yang mereka yakini.
Di dalam proses sejarahnya, organisasi agama adalah refleksi daripada
masyarakatnya. Dua puluh tahun yang lalu, bukanlah sesuatu hal yang
asing di Amerika, jika ada gereja Protestan melarang orang-orang Negro
untuk masuk gereja putih. Orang-orang tahu, bahwa di sisi Tuhan manusia
adalah sama. Tetapi manusia di dunia bilang lain, bahwa hitam dan putih
adalah berbeda, dan Tuhan tidak bisa bikin apa-apa dari surga.
Pemerasan-pemerasan yang paling kejam dan mencolok, dilakukan oleh
anggota-anggota jemaat yang terhormat, dan pendeta-pendeta pura-pura
tidak tahu, dan tidak menskors anggotanya. Akhirnya gereja dan
organisasi agama, menjadi alat dari masyarakatnya.
Gereja Katolik menutup diri, dan mengajarkan bahwa hanya mereka yang
beragama Katolik saja, yang bisa masuk surga. Gereja seolah-olah
berfungsi menjadi Konsulat Tuhan, yang bisa memberikan visa untuk masuk
surga. Disiplin rohaniah ditegakkan dengan kokoh, dan pemberontakan
dari dalam hampir-hampir tak mungkin.
Sejalan dengan proses perubahan sosial yang terjadi, sistem nilai-nilai
masyarakat berubah pula. Orang-orang mulai dipaksa berpikir secara
kritis tentang nilai-nilai yang telah diterima oleh masyarakat, antara
lain tentang nilai-nilai agama. Jika Tuhan memang maha pengasih dan
maha adil, mengapa di dunia ini terdapat begitu banyak kesengsaraan?
Apakah bukan kita yang salah menafsirkan firman-firman Tuhan? Mengapa
kita mendiskriminasikan sesama Kristen dalam gedung-gedung gereja kita?
Jika Paus wakil Yesus di dunia, apa yang dilakukan oleh Paus Pius XII
pada orang-orang Nazi yang beragama Katolik? Jika tidak ke gereja pada
hari Minggu, apakah seorang gembel dan pelacur di jalanan berani pergi
ke gereja? Mana yang lebih perlu, mencetak brosur-brosur agama
berjuta-juta eksemplar, atau memberikan makan untuk mereka yang lapar?
Pertanyaan-pertanyaan fundamental yang timbul di hati setiap manusia
yang berpikir.
Sebagian sampai pada kesimpulan, bahwa Tuhan tidak ada, atau sudah
mati. Di kampus Universitas Hawaii, saya membaca di salah satu WC…God
is dead. Kemudian ada orang iseng yang menambah….God is not dead but
unemployed (Tuhan tidak mati, cuma jadi pengangguran). Tuhan nganggur
karena manusia-manusia tidak mau lagi patuh pada ajaran-ajaranNya, dan
seenaknya memutar-balikkan sesuai dengan kebutuhan praktisnya. Karena
tak ada lagi yang mau mendengarkanNya, akhirnya Ia menjadi penganggur.
Tantangan-tantangan terhadap organisasi-organisasi agama, akhir-akhir
ini begitu besar dan akhirnya menimbulkan krisis keagamaan di Amerika
sekarang (dan dunia umumnya). Kesempatan lain kita bahas mereka yang
berontak dari dalam, dan yang keluar dari organisasi keagamaan.
[Catatan Soe Hok Gie ketika melakukan lawatan selama 70 hari ke Amerika dari 8 Oktober 1968 sampai 3 Januari 1969
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar