-- Iwan Nurdaya-Djafar
KARTINI telah menjadi sumber
ilham yang tak pernah kering. Hidupnya penuh warna. Selain personanya,
hidupnya yang sarat dengan persoalan pun merupakan bahan kajian yang
menarik. Kecerdasannya luar biasa. Penguasaan terhadap bahasa Belanda,
kepekaan batin, serta kemampuan imajinasinya, telah menampilkan Kartini
sebagai cendekiawan yang resah. Kartini adalah jiwa yang menyaksikan
kebangkitan sebuah masyarakat yang terlalu lama menderita sengsara. Ia
sendiri menjadi bagian, bahkan salah seorang yang ingin memulai
kebangkitan itu.
Menurut Goenawan Mohamad, Kartini adalah satu
tokoh epik dan tokoh tragis sekaligus. Dalam pelbagai segi ia memenuhi
syarat untuk itu: perempuan rupawan, cerdas, perseptif, pemberontak tapi
juga anak Bupati Jawa, penuh cita-cita pengabdian tapi juga lemah hati,
dan sementara itu terpojok, kecewa, terikat, dan akhirnya meninggal.
Kartini
tidak dikaruniai umur panjang, hanya 25 tahun 5 bulan. Lahir pada 21
April 1879 dan meninggal pada 17 September 1904. Tetapi, umur yang
pendek itu sempat menggoreskan sebuah riwayat yang dikenal banyak orang.
Ia dikenal lantaran surat-suratnya yang mampu menggerakkan hati setiap
pembacanya.
?Yang menarik dalam surat-surat Kartini bukanlah cuma
isinya, melainkan juga gayanya. Bahasanya seperti ombak dengan badai
yang terkadang tak segera kelihatan. Tak datar. Kita mendapatkan
ekspresi hiperbolik di pelbagai sudut, terutama ketika ia dengan
antusias melukiskan sesuatu atau menyanjung seseorang yang dicintainya.
Pelbagai kalimat seakan-akan harus berhenti dengan tanda seru,? puji
Goenawan Mohamad dalam esainya bertajuk Monginsidi, Chairil, Kartini
(Tokoh + Pokok, 2011, 44)
Poligini, Pendidikan, dan Emansipasi
Kritik
Kartini terhadap agama Islam, sebagaimana diajarkan dan dipraktikkan
pada masa itu, menjadi semakin keras dan tajam ketika ia semakin
tenggelam dalam persoalan mengenai poligini. Kebiasaan berpoligini dalam
masyarakat, khususnya di kalangan bangsawan, adalah musuh besar
Kartini.
Kartini menganggap poligini adalah suatu dosa dan aib
karena poligini memperlakukan kaum wanita dengan sewenang-wenang,
seperti terlihat dalam tulisannya yang tajam, ?? dan mengawininya secara
sah sesuai dengan hukum Islam. Dan siapa yang tidak melakukan hal itu?
Dan mengapa orang tidak berbuat demikian? Itu bukan dosa, bukan pula
aib; ajaran Islam mengizinkan kaum lelaki kawin dengan empat orang
wanita sekaligus. Meskipun hal ini seribu kali tidak boleh disebut dosa
menurut hukum dan ajaran Islam, selama-lamanya saya tetap menganggapnya
dosa. Semua perbuatan yang menyebabkan semua manusia menderita, saya
anggap sebagai dosa. Dosa ialah menyakiti makhluk lain; manusia atau
binatang. Dan dapatkah kamu membayangkan siksaan yang harus diderita
seorang perempuan jika suaminya pulang bersama perempuan lain sebagai
saingannya yang harus diakuinya sebagai istrinya yang sah? Suami dapat
menyiksanya sampai mati, menyakitinya sesukanya. Kalau ia tidak hendak
menceraikannya, sampai mati pun perempuan itu tidak akan memperoleh hak!
Semua untuk kaum lelaki dan tidak ada sesuatu pun untuk kaum perempuan,
itulah hukum dan ajaran kami.?
Poligini yang dipandang halal
oleh fikih lama, berdasarkan kajian Siti Musdah Mulia dalam bukunya
Islam Menggugat Poligami (Gramedia Pustaka Utama, 2004) justru
dinyatakan haram lighairih (haram karena eksesnya). Beberapa negara
muslim semisal Turki melalui UU Civil Turki 1926 dan Tunisia melalui
Majalat Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah No. 66 Tahun 1956 yang telah diubah
beberapa kali terakhir pada 1993, melarang poligini!
Perhatian
Kartini bahkan melebar kepada persoalan masyarakat seperti misalnya
penyakit masyarakat pada zamannya di Jawa, yaitu kebiasaan mengisap
candu yang menghabiskan daya hidup rakyat Jawa. Kartini menulis dengan
sengit, ?Kejahatan yang jauh lebih jahat dari alkohol ada di sini! Yaitu
candu. Aduh! Tak terkatakan kesengsaraan yang dibawa oleh barang laknat
itu di atas negeri saya, pada bangsa saya. Candu adalah penyakit sampar
Pulau Jawa. Ya, candu lebih ganas dari penyakit pes. Penyakit pes tidak
kekal, pada suatu ketika penyakit itu surut, tapi kejahatan yang
ditimbulkan oleh candu bertambah lama bertambah besar. Makin lama makin
meluas dan tidak pernah akan lenyap, hanya karena diawasi oleh
pemerintah. Makin banyak orang mengisap candu di Jawa, akan makin
punahlah kantong milik negara. Cukai candu adalah salah satu sumber
penghasilan yang melimpah bagi pemerintah Hindia-Belanda. Tidak peduli
apa yang terjadi pada rakyat, baik atau buruk pokoknya -- pemerintah
beruntung, itu yang penting. Kebiasaan yang buruk itulah yang mengisi
dompet pemerintah Hindia-Belanda dengan beratus-ratus ribu, berjuta-juta
uang emas.
Kesadaran Kartini atas bahaya candu tentu tiada
bedanya dengan kesadaran kita akan bahaya narkoba pada saat ini. Tak
pelak, Kartini telah pula menempatkan dirinya sebagai seorang kritikus
sosial, bukan sebatas feminis yang kritis dengan persoalan-persoalan
keperempuanan belaka. Hari kelahirannya dirayakan sebagai Hari Kartini
oleh bangsa Indonesia, sayangnya kebanyakan perempuan Indonesia kurang
memahami hakikat perjuangan Kartini manakala bentuk perayaannya
diapresiasi dalam bentuk kegiatan yang remeh dan melecehkan, semisal
lomba sanggul Kartini!
'Feminis' Awal
Menurut A.
Nunuk P. Murniati, pada zamannya Kartini terpengaruh paham feminisme
liberal. Kelompok ini memiliki asumsi bahwa ketidakadilan perempuan
disebabkan oleh aturan atau hukum yang mengatur masyarakat. Perempuan
didudukkan pada posisi subordinat. Dengan demikian, untuk meningkatkan
kedudukan perempuan, mereka harus dididik.
Kartini, tak pelak,
adalah pemikir feminisme Indonesia awal. Meskipun dia seorang putri
priyayi toh dia tiada membanggakan diri sebagai keturunan bangsawan.
"Aku rasa tidak ada hal yang lebih menggelikan dan bodoh daripada orang
yang membiarkan dirinya dihormati hanya karena ia keturunan bangsawan,"
tulisnya seraya mengimbuhkan, "Panggil aku Kartini saja, itu namaku."
Iwan
Nurdaya-Djafar, Budayawan
Sumber:
Lampung Post,
Minggu, 21 April 2013