Menuruni tebing di G. Raung |
Kembali ke pertanyaan diatas, apakah segala sesuatu membutuhkan alasan. Mencintai adalah persoalan perasaan dan sepertinya ini tidak butuh alasan. Jika pun harus memberikan alasan, banyak pernyataan "pembenaran" dari para pioneer atau tokoh jaman dahulu yang biasanya dijadikan alasan. Seperti George Mallory, misalnya yang menyatakan "because is there", terkait alasannya kenapa naik gunung.
Atau seperti ungkapan Soe Hok Gie yang mengatakan “Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami
katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada
slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan
slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat
kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat
ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat.
Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan
fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Bapak Pandu Dunia, Henry Dunant juga mengantakan, "Tidak akan hilang pemimpin suatu bangsa
bila pemudanya masih ada yang suka masuk hutan, berpetualang di alam
bebas dan mendaki gunung. Nampaknya hal tersebut sangat beliau mengerti,
bahwa berkegiatan di alam terbuka akan membentuk pribadi yang menghargai hidup".
Banyak juga alasan lainnya yang ngetrend diungkapkan, seperti "Cinta di tolak, keril diangkat". Ada lagi, "PDKT gagal, mari bangun tenda dan makan bekal" atau alasan yang standar seperti "karena hobi", "karena ngangenin" dan masih banyak lagi alasan lainnya.
Berbicara alasan mendaki gunung tak lepas dari sejarah, pendakian gunung bukan hal yang baru. Di Eropa tercatat sejarah pendakian sudah dimulai sejak tahun 1492 yang dilakukan oleh Sekelompok orang Perancis di bawah pimpinan Anthoine de Ville mencoba
untuk memanjat tebing Mont Aiguille (2.097 m), di kawasan Vercors
Massif.Hingga kemudian banyak tokoh-tokoh yang terkenal seperti,
Dr. Michel Gabriel Paccard dan seorang pemandu gunung, Jacquet Balmat yang berhasi menggapai puncak Mont Blanc (4807).
AF Mummery, pendaki Inggris yang mendaki Nanga Parbat (8.125 m) yang sering disebut Bapak Pendakian Gunung Modern.
George Mallory, yang mendaki puncak everest (8.400 m) tanpa tabung oksigen. Tokoh ini biasanya yang sering dideritakan dan mejadi ukuran kebanggan paran pendaki.
Ada juga Dr. Karl Prusik memelopori penggunaan tali kecil dengan simpul khusus
untuk menggantung dan meniti tali yang lebih besar. Sampai sekarang tali
kecil dan simpul ini dikenal dengan istilah prusik. Meniti tali dengan
menggunakan tali kecil dan simpul ini disebut prusiking.
Masih banyak lagi tokoh-tokoh yang melegenda namun yang paling saya suka adalah WA Coolidge yang dijuluki Mr. Winter Climbing dengan prinsipnya mendaki tanpa pemandu, yang kemudian menjadi trend sampai sekarang. Mendaki tanpa pemandu dirasa lebih membanggakan dan memiliki tantangan yang lebih.
Ekplorasi pendakian gunung-gunung di indonesia sendiri sudah dilakukan sejak tahun 1800-an. Tokoh yang sudah tidak asing lagi yaitu Frans Wilhem Junghun. Ahli botani, naturalis, doktor, dan alpinsim ini banyak melakukan pendataan hutan di gunung-gunung wilayah Jawa. Saya kira, jasanya dalam perkembangan pendakian gunung di indonesia tidak perlu diragukan lagi.
Pada tahun 1899 Ekspedisi Belanda pembuat peta di Irian menemukan kebenaran laporan
Yan Carstensz (1623). Navigator dari Belanda yang pertama mengabarkan ke daratan Eropa tentang adanya puncak es dinegara tropis
di garis equator Barat Papua Nugini. Maka
namanya diabadikan sebagai nama puncak yang kemudian ternyata merupakan
puncak gunung tertinggi di Indonesia. Hingga kemudian muncul ekspedisi-ekspedisi untuk melakukan pendakian Cartenz Pyramid. Pada ekspedisi ini ada salah satu ahli geologi yang menemukan deposit tembaga di Gunung Grasberg. Di Grasber inilah kemudian penambangan emas dilakukan oleh Freeport.
Pendakian Gunung di Indonesia semakin berkembang seiring dengan bermunculannya Organisasi Pecinta alam (OPA). Soe Hok Gie dan Norman Edwin sepertinya nama-nama ini sudah tidak asing di telinga kita.
Berbicara mengenai sejarah sepertinya akan panjang dan saya tentunya tiidak akan mengupas tuntas itu. Namun dari sejarah-sejarah tersebut setidak dapat tergambar apa yang menjadi alasan untuk mendaki gunung.
Perkembangan teknologi dan komunikasi tentunya semakin mempermudah aktivitas pendakian gunung. Jaman dahulu selain membutuhkan fisik yang kuat, seorang pendaki gunung harus memahami peta, kompas dan tanda-tanda alam. Karena membutuhkan fisik yang kuat, mendakai gunung sering disebut sebagai kegiatan "mbois" plesetan kata "boys" yang berarti keren, kecowokan, cool, kece. Apalagi kalau misalkan naik gunung sampai puncak dan membawakan bunga edelweis untuk cewek-cewek. Bisa bling-bling deh tuh cewek.
Seiring dengan teknologi yang semakin berkembang, pendakian gunung dan olahraga alam bebas lainnya sepertinya mulai mengalami pergeseran. Mendaki gunung sudah menjadi olahraga publik. Tidak hanya didominasi oleh kaum laki saja, sekarang perempuan bahkan anak-anak sudah banyak menekuni aktivitas ini. Gaya-gaya "mbois" sepatu boot, gelang prusik, dan style gunung lainnya tetap menjadi favorit tak kalah dengan gaya boysband atau K-pop. Perlengkapan adventure semakin mudah didapat dan informasi - informasi seputar jalur atau medan pendakian juga semakin banyak. Naik Gunung tidak lagi untuk menunjukan bahwa saya hebat, kuat, menjadi yang pertama. Saya naik gunung agar tetap "mbois". So, keep calm and stay "mboys"......