Minggu, 24 Maret 2013

Bersua Dalam Kearifan Masyarakat Talang Mamak, Royongan Menuai Padi

Aktivitas Menuai Padi Masyarakat Talang Mamak
Memanen sepertinya sudah menjadi hal yang biasa bagi kita. Namun lain bagi masyarakat Talang Mamak, salah satu suku yang hidup di pedalaman Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Tradisi memanen suku Talang Mamak telah menjadi tradisi rutin yang dilakukan secara turun temurun. Dalam tradisi ini, memanen padi dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat. Mereka memanen bersama-sama ladang miliknya secara bergantian dari ladang yang satu ke ladang yang lain. Alat yang digunakan untuk memanen adalah tuai. alat ini sangat sederhana, terbuat dari sebantang bambu kira-kira panjangnya sejengkal, kemudian bagian tengahnya disisipi lempengan seng dari kulit luar baterai yang dipasang secara horisontal. Tuai ini digunakan untuk memotong satu persatu tangkai padi. Proses memanen ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan baik tua maupun muda dengan  pembagian kerja yang hampir sama.

Hari itu (12/3) kebetulan sedang ada kegiatan menuai padi di ladang Pak Buchori. Rasa penasaran saya mengenai proses menuai padi ini kemudian membuat saya ingin melihat secara langsung  menuai padai tersebut. Pagi-pagi Saya dan  Mira kemudian menuju Dusun Simarantihan. Dusun yang masuk ke dalam Kawasan administratif Desa Suo-suo Kabupaten Tebo ini telah lama menjadi hunian tetap bagi masyarakat adat Talang Mamak. Masyarakat adat ini berasal dari Datai yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Pola hidup masyarakat yang berpindah-pindah menyebabkan mereka tersebar di beberapa wilayah. Selain di Simarantihan, Jambi bebrapa kelompok ada yang tinggal di Indragiri, Riau. Masyarakat adat talang-mamak yang tinggal di Simarantihan ini sebelumnya menempati wilayah Menggantal. Hingga kemudia ada Program Pemukiman Masyarakat Adat oleh pemerintah melalui dinas sosial yang kemudian menempatakn mereka di Simarantihan hingga sekarang. Pemerintah membangunkan rumah-rumah berukuran sedang untuk masig masing keluarga. Hingga saat ini Dusun Simarantihan telah dihuni oleh 40 Kepala Keluarga. Fasilitas yang ada disini sangat minim, tidak ada layanan kesehatan, Listrik dan telekomunikasi. Untungnya sudah ada sekolah dasar yang didirikan di sini, walaupun dengan tenaga pengajar yang sangat terbatas. Sebagian besar waktu masyarakat Talang Mamak ini dihabiskan di ladang. Mereka membangun pondok-pondok di ladang mereka dan tinggal disana bersama anak dan istrinya menunggui ladang tersebut. Jam pelajaran sekolah pun dimulai dari pukul 13.00 hinggga pukul 16.00 WIB. Selesai sekolah anak-anak juga kemudian kembali lagi ke pondok mereka dan kembali siang hari  esoknya. Pada masa panen padi seperti ini anak-anak ikut sibuk membantu di ladang, Jadi sekolah juga sering diliburkan pada masa-masa panen. 

Padi-padi yang telah dituai dimasukan kedalam Gending, semacam keranjang yang terbuat dari anyaman bambu. Bentuknya tidak terlalu besar, kira-kira seukuran bakul nasi. Setelah gending-gending terasa penuh kemudian dikumpulkan dan dimasukan kedalam selendang. Selendang ini berukuran cukup besar dengan bentuk tabung. Terbuat dari Kulit kayu meranti. Saat membawa gending ada bbebrapa aturan yang harus ditaati. Petani tidak boleh minum atau membuang air. selain itu juga tidak boleh memadatkan padi dengan cara diinjak dengan kaki. Cara menempatkan selendang tempat mmenampung padi ini juga harus dijemur dengan bagian atas menghadap ke arah matahari. Diperkirakan Penuaian padi di lahan Pak Buchori ini akan selesai dalam waktu 4 hari. Pak Buchori sendiri adalah salah satu pemangku adat Talang Mamak di Dusun Simarantihan ini.

Senja mulai berangsur tenggelam tergantikan malam. haya sebagian kecil masyarakat saja yang pulang menuju rumahnya. Sebagai besar tetap menghabiskan malam menunggui padi-padinya. Pondok-pondok yang dibangun memang disiapkan sebagai temapat tinggal kedua mereka. Malam di Dusun Simarantihan ternyata cukup ramai. walaupaun tidak ada aliran listrik, beberapa rumah sudah memiliki mesin diesel. Beberapa antena parabola juga nampak di halaman-halaman rumah. Di persimpangan masuk ke dusun ada sebuah warung yang dikelola oleh Pak Yanto dimana istrinya adalah satu-satunya guru yang mengajar si Simarantihan ini. Di warungnya yang sekaligus menjadi rumahnya terdapat miesin deisel serta  televisi parabola  yang selalau dinyalakan ketika sore hingga sekitar  tengah malam.  Tempat ini ramai pleh masyarakat yang menonoton TV atau sekedar mencari rokok atau kebutuhan lainnya. Hal ini mengingatkan waktu kkecil saya, dimana hanya ada beberapa televisi saja di kampaung. Besama dengan tetangga yang lain tiap malam saya selalu beramai-ramai menonton televisi yang waktu itu juga masih hanya berwarna hitam dan putih saja.
Saya Bersama Dengan Beberapa Perempuan Penuai Padi

Kehidupan Masyarakat Talang Mamak yang masih subsisten atau memanfaaatkan alam sebatas unuk pemenuhan kehidupan sehari-hari menjadi contoh harmonisasi yang cukup baik antara alam dan manusia. Tata cara memanen padi masyarakat ini bisa menjadi salah satu gambaran harmonisasi tersebut. Lokasi yang cukup jauh dan terpencil memang dapat menjaga masyarakat bertahan dalam kearifannya. Namun perlahan-lahan, dorongan masyarakat untuk bisa menikmati teknologi semakain besar. Jika tidak diimbangi dengan pemahaman kearifan lokal yang kuat maka bisa berdampak fatal terhadap kelestarian lingkungan. (leo)



Seri Menggapai Atap Andalas : Kerinci, Atap Tertinggi Sumatra (Bag 2)

Tugu Macan Maskot Desa Kersik Tuo
Gunung Kerinci masuk dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), yang melintang d sisi barat Pulau Sumatra dari padang, Jambi hingga Bengkulu. Kawasan ini juga menjadi benteng terakhir bagi satwa-satwa liar diantaranya Harimau Sumatera. Saat ini binatang endemik Sumatera ini status keberadaannya cukup memprihatinkan sementara kerabat terdekatnya Harimau Jawa dan Harimau Bali sudah dinyatakan punah. Di persimpangan hendak masuk jalur pendakian ada tugu macan yang juga menjadi juga menjadi ikon bagi wilayah ini. Wilayah Kerinci juga terkenal dengan teh kayu aro. Perkebunan teh ini terhampar luas di sekitar Gunung Kerinci. Teh kayu aro memiliki cita rasa yang khas dan sudah memiliki pasar ekspor yang bagus.

Setelah mengurus perijinan atau R10 bersama dengan sekelompok pendaki dari Bandung, saya langsung menuju Pintu Rimba. Gerbang yang menjadi perbatasan antara Taman nasional dan ladang masyarakat. Dengan Mengikuti Jalan Aspal, dari Pos Perijinan menuju  Pintu rimba ini membutuhkan waktu sekitar 30 menit perjalanan. Suasana perkebunan nampak terlihat jelas dalam perjalanan menuju Pintu Rimba ini. Seringkali saya berjumpa dengan petani yang akan berangkan ke ladang. Banyak juga yang sudah berada di ladang, ada yang sedang menanam, menyeprot atau sekedar membersihkan tanaman dari rumput liar Dari dialog yang mereka ucapakan menunjukan bahwa mereka merupakan Suku Jawa. Wilayah Kerinci bagian tengah memang sebagain besar dihuni oleh orang jawa. Hal ini membuat seolah saya merasa di tanah sendiri jadinya.
Pondok Di Pos 1

Memasuki Pintu Rimba, nampak kontras sekali dengan sebelumnya. Saya langsung disambut dengan lebatnya hutan kerinci. Keteduah dan kesejukannya memberi saya tenaga baru setelah sebelumnya dipanggang dalam terik matahari. Untungnya sudah beberapa hari ini tidak turun hujan sehingga jalanan berlumpur  di sepanjang setapak hanya menyisakan jejak-jejak kaki yang nampak mulai mengeras. Dari Pintu Rimba menuju Pos 1 kemuian menuju pos 2 dan 3 jaraknya tidak begitu jauh. Jarak antar  posnya membutuhkan waktu sekitar 20 menit perjalanan. Jalur yang dilewati pada pos ini relatif landai dengan tutupan hutan yang cukup lebat. Di sebelah kiri jalur ini ada mata air, namun seringkali kering saat musim kemarau. Pada pos ini terdapat bangunan permanen yang dapat digunakan untuk beristirahat, namun para pendaki tidak dianjurkan untuk menginap di daerah ini dikarenakan harimau sumatera seringkali melintas di daerah ini. Bunyi-bunyi beruk, simpai dan berbagai jenis hewan terdengar jelas. Menunjukn ekosistem di sekitar sini masih bagus. Tempat ini sepertinya memang akan menjadi benteng terakhir bagi satwa liar.

Menuju ke Shelter 1, medan mulai berat, jalanan yang terjal dan akar-akar yang melintang menjadi awal tantangan menapaki setapak kerinci ini. Beberapa kali saya harus menggunakan kedua tangan saya sebagai tumpuan untuk bisa melewati jalan yang memang cukup terjal. Mendaki gunung sendirian selain dibutuhkan mental juga dibutuhkan fisik yang tangguh, karena peralatan dan perlengkapan tentunya akan dibawa sendiri. Saya sendiri mulai merasa kepayahan, selain beban yang cukup berat perjalanan jauh semalaman tadisepertinya sudah cukup menguras tenaga saya. Untuk menuju shelter 1 ini saya membutuhkan waktu sekitar 2 jam perjalanan. Sesampai di shelter ini saya langsung membongkar peralatan masak, saya perlu mengisi ulang tenaga. Tanpa banyak membuang waktu, sepring mie cornet sudah terhidang dan siap disantap.
Suasana di Shelter 1

Perlahan-lahan tenaga saya mulai pulih kembali. Barang-barang dan perlengkapan memasak  sudah kemablai terpacking. Saya pun sudah siap melanjutkan perjalanan kembali. Target saya kalai ini adalah shelter 2. Medan menuju shelter 2 bertambah berat, semakin terjal dan banyakakar-akar yang melintang. Tangan saya selalau aktif dan sering menjadi tumpuan untukbisa mengangkat tubuh saya melewati jalan yang curam. Tutupan hutan yang rapat sedikit demisedikit mulai terbuka. Mulai nampak jenis pohon-pohon perdu dan semak. Kabut tipis dan angin terasa sampai menusuk tulang. Menurut keterangan penduduk di bawah, sat musim terang seperti ini angin memang bertiup kencang. tak ingin, mengambil resiko, saya kemudian mengenakan rain coat. Berharap semoga bisa untuk melindungi kulit-kulit tubuh dari terpaan angin. setelah berjalan selam kekitar 3 4 jam perjalan saya akhirnya tiba di shelter 2. Tiupan angin semakin terasa kencang. untungnya di tempat ini cukup terlindung oleh tanaman-tanam perdu dan tebing. Nampakbekas bangunan pos yang hanya tertingal rangka saja. tiupan angin besar sepertinya sudah mengkoyak-koyak atap dan dinding bangunan tersebut. Sya pun kemudian mendirikan tendan di balik tebing bersama sekelompok pendaki yang lain.Angin terus bertiup kencang dan udara semakin dingin. Perangkat GPS di saku saya menunjuk pada 3050 mdpl. Gigi-gigiku mulai saling beradu, dan tubuh mulai menggigil. (Bersambung) Melihat Kerinci, atap Tertinggi Sumatra (Bag 1)

Rabu, 06 Maret 2013

Seri Menggapai Atap Andalas : Kerinci, Atap Tertinggi Sumatra (Bag 1)

Gunung Kerinci Dilihat Dari KersikTuo
Sesampai di Kota Jambi (26/2), waktu yang ada kugunakan dengan sebaik-baiknya untuk berbelanja sejumlah perbekalan. Saya harus benar-benar memperhitungkan barang yag akan saya beli agar tidak terlalau berat namun masih safety. Ini akan menjadi pendakian solo ku yang pertama. menuju gunung tertinggi di pulau Sumatera sekaligus gunung tertinggi kedua di Indonesia. Perjalanan selama 5 jam dari Tebo menuju Jambi cukup membuat tubuhku lelah, ditambah udara panas di siang itu. Saya harus banyak minum dan cukup makan bergizi agar tubuh tetap fit.

Dari kota Jambi, untuk menuju kerinci saya menggunakan travel Safa Marva. sebetulnya ada banyak  travel menuju kerinci seperti Ayu Travel, Duta Kerinci, dan lainnya. Saya tak mau ambil pusing dengan banyaknya pilihan tersebut. Safa marwa menjadi piihan saya dan berharap travel ini bisa memberikan pelayanan yang nyaman mengngat perjalanan yang saya tempuh akan cukup lama, sekitar 10-11 jam perjalanan.

(27/2) menjelang petang travel sudah menjemput, mobil Elf bercat gelap berkapasitas 8 penumpang. Saya pun segera bergegas dan berharap tidak ada barang yang saya tertinggal. Saya duduk di kursi paling belakang, tidak terlalau nyaman memang karena guncangannya pasti akan lebih terasa. Setelah menjemput beberepa penumpang, mobil yang saya tunggangi langsung meluncur menuju kot Sungai penuh, Kerinci. Semua bangku terisi, saya harus rela berdesakan tempat duduk. harapan untuk bisa tidur selama perjalanan sepertinya lenyap sudah saat menyadari bahwa  AC mobil juga tidak menyala. Udara panas Sumatra membuat saya bermandikan keringat. Setelah sekitar 2 jam berjalan, mobil yang saya naiki berhenti di sebuah rumah makan. Perut yang memang sejak sore tadi belum saya isi juga sudah merongrong sejak tadi. Saya pun langsung memesan satu porsi nasi padang. Setelah perut terisi kantuk pun tidak bisa saya cegah lagi. Saya akhirnya bisa tertidur walalupun sesekali terbangun saat mobil terguncang cukup keras.

Memasuki wilayah Batang Merangin mendekati Kerinci, saya terbangun. Guncangan keras dalam mobil cukup teras semakin sering. memandang luar jendela, jalan memang tampak buruk dan bergelombang. Sepanjang jalan juga terlihat gelap, sepertinya di wilayah ini belum terpasang listrik. Sesekali saya menjumpai bekas-bekas longsoran- dari lereng tebing di tepi jalan. Pada musim penghujan sepertinya di sekitar daerah ini sering terjadi longsor dan tentunya pasti akan mengahambat arus lalu lintas. Tak lama saya pun tiba di sungai penuh. Hari masih cukup gelap saat itu, jam ditangan saya baru menunjuk pukul lima pagi. Pak Supir kemudian menunjukan mobil angkutan yang akan mengantar ke Desa Kayu Aro, Kersik Tuo. Tempat ini akan jadi titik start pendakian saya.

Mobil angkutan menurunkan saya di simpang macan. Untuk melanjutkan perjalanan saya bisa berjalan kaki atau naik ojek menuju tempat perijinan yang lokasinya berjarak seitar 2 km. Beberapa lama menunggu, sepertinya tak ada ojek yang melintas. Ibu penjual makanan di seberang jalan menyarankan saya untuk singgah di basecamp dulu atau landung ke atas dengan menumpang mobil yang mengangkut sayuran. Saya pun kemudian mencegat seorang pengendara sepeda motor untuk minta tumpangan. Untungnya Bapak ini tidak keberatan mengatar saya hingga pos perijinan.
Bersama Rombongan Dari Bandung (Saya Paling Kiri)
Saya tidak benar-benar sendiri mendaki Gunung Kerinci ini, di pos perizinan sudah ada enam pendaki dari Bandung yang sedang menunggu petugas di pos ini. kami langsung saling berkealan dan mengakrabkan diri. Tiga orang dari mereka adalah mahasiswa kedokteran di Unpad. Akan jadi pengalaman yang menarik tentunya mendaki bersama para calon dokter, pastinya akan ada pelajaran menarik yang bisa saya dapat  ilmu medis di lapangan dari para calon dokter ini.(Bersambung)