Jumat, 01 November 2013

KERUGIAN AKIBAT KONFLIK GAJAH DI TEBO JAMBI MENCAPAI 13 MILYAR


AUDIENSI DENGAN KOMISI II DPRD TEBO : KERUGIAN AKIBAT KONFLIK GAJAH DI TEBO JAMBI MENCAPAI 13 MILYAR
Tebo 31 Oktober 2013
Wakil Ketua DPRD Tebo Sedang Memimpin Audiensi
Sejumlah perwakilan masyarakat yang berasal dari Kecamatan Sekalo, Kecamatan Serai Serumpun dan Kecamatan VII Koto mengadukan permasalahan konflik gajah yang sudah lama dihadapi oleh masyarakat,melalui audiensi yang difasilitasi oleh Komisi II DPRD Tebo.  Turut diundang dan hadir  pada audiensi ini yaitu Dinas kehutanan,BKSDA,  Franfurt Zoological Society (FZS), PT LAJ dan Asisten I.
Pada audiensi ini masyarakat mempertanyakan mengenai SK Bupati mengenai pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Satwa liar yang sudah terbentuk sejak tahun 2010 namun sampai sekarang belum ada tindakannya yang jelas. Masyarakat juga mengharapkan adanya solusi untuk penanggulangan konflik gajah yang dihadapi masyarakat. Kepala Desa Kuamang menyampaikan “Konflik gajah yang dihadapi masyarakat sebenarnya sudah terjadi sangat lama. Sudah ribuan hektar lahan masyarakat yang menjadi korban namun belum ada tindakan yang jelas”. Pernyataan  serupa juga di ungkapkan oleh Suyono dari Desa SP5 yang menyatakan “pemerintah cukup lamban dalam menanggulangai konflik. Karena konflik sudah terjadi cukup lama namun belum ada tindakan dari pemerintah”.
Konflik antara manusia dan gajah yang dialami masyarakat semakin tinggi karena habitat gajah sudah habis. Banyak kawasan hutan yang tadinya merupakan habitat gajah dikonversi menjadi areal HTI, perkebunan dan pertambangan. Hal ini yang menyebabkan konflik gajah semakin tinggi karena minimnya ktersediaan pakan gajah di hutan sehingga gajahmasuk ke kebun masyarakat. Dari data yang dikumpulkan oleh Franfurt Zoological Society kerugian yang dialami olah masyarakat mencapai Rp 13.658.442.020,- ini belum termasuk kerugian secara psikhis yang dialami masyarakat saat berkonflik. Bahkan hingga jatuh korban jiwa. Albert Tetanus dari FZS kemudian juga menyampaikan “ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengurangi resiko kerusakan akibat konflik dengan gajah seperti menjaga kebun, penggunaaan meriam karbit, Bom asap,dan pembangunan pagar listrik”. Pagar listrik menjadi metode yang cukup efektif namun biayanya cukup mahal. “Pagar listrik ini sudah dibangun di desa Sekutur Jaya kecamatan serai serumpun atas kerjasama dari FZS, BKSDA dan Masyarakat dan sampai sekarang cukup berhasil untuk mecegah gajah memasui kebun-kebun sawit milik masyarakat”, tambahnya.
Pak Prayitno dari Dinas kehutanan menyampaikan juga “Adanya pembentukan tim koordinasi penanggulangan satwa liar merupakan tindak lanjut karena jatuhnya korban jiwa 1 orang meninggal dunia karena konflik dengan gajah di kecamatan VII Koto. Namun setelah tim koordinasi ini dibentuk kemudian belum ada koordinasi sampai sekarang”.
Kemudian Pak Popri dari Komisi II menyampaikan “ Untuk kedepannya perlu merevisi tim koordinasi penangulangan satwa liar agar lebih efektif. Selain itu kemudian juga dianggarkan untuk kegiatan kegiatannya termasuk juga di setiap dinas. Jadi di depan tidak ada lagi alasan tidak ada anggaran untuk penanggulangan konflik dengan satwa liar”.
Adanya areal khusus untuk gajah menjadi hal penting karena untuk penanggulangan konfliknya menjadi lebih mudah. Dan jika sudah ditetapkan maka areal ini tidak boleh diganggu-ganggu lagi dan diubah untuk penggunaan lain. Areal ini nantinya selain menjadi pusat konservasi juga akan menjadi pusat pendidikan dan yang lainnya. Peran swasta diharapkan juga dapat membantu masyarakat untuk mananggulangai konflik karena adanya perusahaan yang beroperasi di kawasan bukit tiga puluh ini juga berkonstribusi terhdap rusaknya habitat gajah. Setidaknya dari dana CSR yang dimiliki oleh perusahaan. Dari  hasil Audiensi ini diputuskan akan adanya pembahasan lebih teknis dan perumusan strtegi untuk penanggulangan konfliknya. Untuk itu pada audiensi yang dipimpi oleh Wakil Ketua DPRD Tebo ini kemudian menetapkan Tim Ad hoc yang berfungsi untuk merumuskan strategi tersebut. Tim Ad hoc yang di koordinatori oleh Dinas Kehutanan diberi waktu selama satu mingggu untuk kemudian memaparkan hasilnya. Untuk jangka waktu dekatnya BKSDA diminta untuk dapat merespon konflik yang ada dimasyarakat sampai kemudian ada rumusan strateginya.(leo)

Senin, 20 Mei 2013

Ingin Peliharaan,Peliharalah Gajah Sumatra

 
Pemasangan GPS Collar Pada Gajah Anna
Anna, Bella, Cinta, Dadang dan Elena adalah nama gajah Indonesia yang ditawarkan untuk dipungut, sebagai bagian dari proyek perlindungan atas gajah Asia yang langka agar hewan berbelalai itu tetap bisa hidup di alam bebas.
Lima gajah tersebut masuk sebagai bagian proyek konservasi untuk menyelamatkan gajah-gajah Asia.
"Karena habitat mereka hilang, konflik dengan komunitas lokal meningkat, menyebabkan kematian di kedua pihak,” ujar Cocks, pegiat konservasi dari International Elephant Project, Jumat (22/3) di Sydney.
Anna, Bella, Cinta, Dadang dan Elena adalah lima gajah yang berasal wilayah Bukit Tigapuluh, di antara provinsi Jambi dan Riau. 
''Penebangan hutan di Sumatra menyebabkan para gajah diracun warga desa yang ingin melindungi tanaman mereka dari satwa-satwa yang kelaparan tersebut, Kondisi gajah-gajah Asia jauh lebih kritis daripada gajah Afrika karena jumlahnya lebih sedikit,'' ujar Leif Cocks, salah satu pendiri proyek tersebut.
''Di sini mereka memungkinkn untuk tetap hidup di alam liar,'' jelasnya. 
Gajah-gajah pertama yang menjadi fokus saat ini adalah gajah Sumatra, yang memang sangat terdesak. Ada 1.200 sampai 1.600 maksimum yang tersisa di alam liar, dan mereka populasi yang terfragmentasi.
Sedangkan mengenai lima gajah yang bisa “diadopsi” itu merupakan bagian dari kumpulan yang berbeda di wilayah Bukit Tigapuluh, di antara provinsi Jambi dan Riau, yang mengalami deforestasi yang pesat akibat pembukaan perkebunan kelapa sawit dan penebangan kayu untuk kertas. Saat ini, masing-masing gajah dilengkapi dengan kalung GPS, agar dapat dimonitor keberadaan dan gerakannya.
Kalung tersebut juga membuat pekerja proyek ini mengetahui kapan gajah-gajah tersebut mendekati wilayah berpenduduk dan memungkinkan untuk menghalau mereka sebelum masalah muncul. Adopsi mulai dari A$65 (sekitar Rp 670.000) dan termasuk kabar terbaru yang rutin dikirim mengenai tiap gajah lewat data GPS.
Sumber : http://www.antaranews.com/berita/364699/ingin-peliharaan-pungutlah-gajah-indonesia

Minggu, 19 Mei 2013

Kartini Sang Feminis Awal

-- Iwan Nurdaya-Djafar


KARTINI telah menjadi sumber ilham yang tak pernah kering. Hidupnya penuh warna. Selain personanya, hidupnya yang sarat dengan persoalan pun merupakan bahan kajian yang menarik. Kecerdasannya luar biasa. Penguasaan terhadap bahasa Belanda, kepekaan batin, serta kemampuan imajinasinya, telah menampilkan Kartini sebagai cendekiawan yang resah. Kartini adalah jiwa yang menyaksikan kebangkitan sebuah masyarakat yang terlalu lama menderita sengsara. Ia sendiri menjadi bagian, bahkan salah seorang yang ingin memulai kebangkitan itu.

Menurut Goenawan Mohamad, Kartini adalah satu tokoh epik dan tokoh tragis sekaligus. Dalam pelbagai segi ia memenuhi syarat untuk itu: perempuan rupawan, cerdas, perseptif, pemberontak tapi juga anak Bupati Jawa, penuh cita-cita pengabdian tapi juga lemah hati, dan sementara itu terpojok, kecewa, terikat, dan akhirnya meninggal.

Kartini tidak dikaruniai umur panjang, hanya 25 tahun 5 bulan. Lahir pada 21 April 1879 dan meninggal pada 17 September 1904. Tetapi, umur yang pendek itu sempat menggoreskan sebuah riwayat yang dikenal banyak orang. Ia dikenal lantaran surat-suratnya yang mampu menggerakkan hati setiap pembacanya.

?Yang menarik dalam surat-surat Kartini bukanlah cuma isinya, melainkan juga gayanya. Bahasanya seperti ombak dengan badai yang terkadang tak segera kelihatan. Tak datar. Kita mendapatkan ekspresi hiperbolik di pelbagai sudut, terutama ketika ia dengan antusias melukiskan sesuatu atau menyanjung seseorang yang dicintainya. Pelbagai kalimat seakan-akan harus berhenti dengan tanda seru,? puji Goenawan Mohamad dalam esainya bertajuk Monginsidi, Chairil, Kartini (Tokoh + Pokok, 2011, 44)

Poligini, Pendidikan, dan Emansipasi

Kritik Kartini terhadap agama Islam, sebagaimana diajarkan dan dipraktikkan pada masa itu, menjadi semakin keras dan tajam ketika ia semakin tenggelam dalam persoalan mengenai poligini. Kebiasaan berpoligini dalam masyarakat, khususnya di kalangan bangsawan, adalah musuh besar Kartini.

Kartini menganggap poligini adalah suatu dosa dan aib karena poligini memperlakukan kaum wanita dengan sewenang-wenang, seperti terlihat dalam tulisannya yang tajam, ?? dan mengawininya secara sah sesuai dengan hukum Islam. Dan siapa yang tidak melakukan hal itu? Dan mengapa orang tidak berbuat demikian? Itu bukan dosa, bukan pula aib; ajaran Islam mengizinkan kaum lelaki kawin dengan empat orang wanita sekaligus. Meskipun hal ini seribu kali tidak boleh disebut dosa menurut hukum dan ajaran Islam, selama-lamanya saya tetap menganggapnya dosa. Semua perbuatan yang menyebabkan semua manusia menderita, saya anggap sebagai dosa. Dosa ialah menyakiti makhluk lain; manusia atau binatang. Dan dapatkah kamu membayangkan siksaan yang harus diderita seorang perempuan jika suaminya pulang bersama perempuan lain sebagai saingannya yang harus diakuinya sebagai istrinya yang sah? Suami dapat menyiksanya sampai mati, menyakitinya sesukanya. Kalau ia tidak hendak menceraikannya, sampai mati pun perempuan itu tidak akan memperoleh hak! Semua untuk kaum lelaki dan tidak ada sesuatu pun untuk kaum perempuan, itulah hukum dan ajaran kami.?

Poligini yang dipandang halal oleh fikih lama, berdasarkan kajian Siti Musdah Mulia dalam bukunya Islam Menggugat Poligami (Gramedia Pustaka Utama, 2004) justru dinyatakan haram lighairih (haram karena eksesnya). Beberapa negara muslim semisal Turki melalui UU Civil Turki 1926 dan Tunisia melalui Majalat Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah No. 66 Tahun 1956 yang telah diubah beberapa kali terakhir pada 1993, melarang poligini!

Perhatian Kartini bahkan melebar kepada persoalan masyarakat seperti misalnya penyakit masyarakat pada zamannya di Jawa, yaitu kebiasaan mengisap candu yang menghabiskan daya hidup rakyat Jawa. Kartini menulis dengan sengit, ?Kejahatan yang jauh lebih jahat dari alkohol ada di sini! Yaitu candu. Aduh! Tak terkatakan kesengsaraan yang dibawa oleh barang laknat itu di atas negeri saya, pada bangsa saya. Candu adalah penyakit sampar Pulau Jawa. Ya, candu lebih ganas dari penyakit pes. Penyakit pes tidak kekal, pada suatu ketika penyakit itu surut, tapi kejahatan yang ditimbulkan oleh candu bertambah lama bertambah besar. Makin lama makin meluas dan tidak pernah akan lenyap, hanya karena diawasi oleh pemerintah. Makin banyak orang mengisap candu di Jawa, akan makin punahlah kantong milik negara. Cukai candu adalah salah satu sumber penghasilan yang melimpah bagi pemerintah Hindia-Belanda. Tidak peduli apa yang terjadi pada rakyat, baik atau buruk pokoknya -- pemerintah beruntung, itu yang penting. Kebiasaan yang buruk itulah yang mengisi dompet pemerintah Hindia-Belanda dengan beratus-ratus ribu, berjuta-juta uang emas.

Kesadaran Kartini atas bahaya candu tentu tiada bedanya dengan kesadaran kita akan bahaya narkoba pada saat ini. Tak pelak, Kartini telah pula menempatkan dirinya sebagai seorang kritikus sosial, bukan sebatas feminis yang kritis dengan persoalan-persoalan keperempuanan belaka. Hari kelahirannya dirayakan sebagai Hari Kartini oleh bangsa Indonesia, sayangnya kebanyakan perempuan Indonesia kurang memahami hakikat perjuangan Kartini manakala bentuk perayaannya diapresiasi dalam bentuk kegiatan yang remeh dan melecehkan, semisal lomba sanggul Kartini!

'Feminis' Awal

Menurut A. Nunuk P. Murniati, pada zamannya Kartini terpengaruh paham feminisme liberal. Kelompok ini memiliki asumsi bahwa ketidakadilan perempuan disebabkan oleh aturan atau hukum yang mengatur masyarakat. Perempuan didudukkan pada posisi subordinat. Dengan demikian, untuk meningkatkan kedudukan perempuan, mereka harus dididik.

Kartini, tak pelak, adalah pemikir feminisme Indonesia awal. Meskipun dia seorang putri priyayi toh dia tiada membanggakan diri sebagai keturunan bangsawan. "Aku rasa tidak ada hal yang lebih menggelikan dan bodoh daripada orang yang membiarkan dirinya dihormati hanya karena ia keturunan bangsawan," tulisnya seraya mengimbuhkan, "Panggil aku Kartini saja, itu namaku."

Iwan Nurdaya-Djafar, Budayawan

Sumber: Lampung Post, Minggu, 21 April 2013

Sabtu, 18 Mei 2013

Asal Mula Keruwetan Pengelolaan Kawasan Hutan Lanskap Bukit Tigapuluh


Area BekasTebangan di Sekitar Bukit Tigapuluh (Dok : Pribadi)
Rusaknya hutan lanskap Bukit Tigapuluh bermula ketika kawasan itu diserahkan kepada PT Industries et Forest Asiatiques (IFA), HPH yang berada dibawah naungan Barito Pasific Group. Menteri Kehtanan mengeluarkan perpanjangan izin HPH PT IFA di Provinsi Jambi dan Riau berdasarkan SK Menhut No.608/Menhut-VI/1993 terhitung tanggal 17 juli 1998 - 16 Juli 2008 dengan PT IFA Jambi (Blok Pasir Mayang) Kabupaten Tebo seluas 108.000 ha dan PT IFA Riau (Blok Rengat) Kabupaten IndragiriHulu seluas 70.000 ha. Namun September 2001 PT IFA menyerahkan pengelolaan areal konsesinya kepada pemerintah.
Setelah penyerahan inilah kemudian terjadi tumpang tindih pengelolaan kawasan eks IFA baik yang berada di Jambi maupun yang berada di Riau, dengan terbitnya sejumlah perizinan. Sedikitnya ada 8 perizinan yang keluar dari wilayah ini. Belakangan Menteri Kehutanan mencabut dan meminta meninjau ulang beberapa diantara izin tersebut. Sampai sekarang kawasan eks PT IFA itu masih menunggu proses penetapan status baru oleh Menteri Kehutanan Lanskap Hutan Bukit Tigapuluh merupakan blok hutan alam yang bersambungan seluas 507.814,78 ha, terdiri dari hutan dataran rendah keringa dan peguanungan. Lanskap bukit Tigapuluh dan Lanskap Hutan Tesso Nilo merupakan kawasan akhir yang tersisa dari hutan dataran rendah kering yang saling bersambungan di Pulau Sumatera. Kawasan ini dapat dikaterogikan hampir "punah" di Sumatera. Sebelumnya Bukit Tigapuluh relatif aman dari konservasi skala besar karena topografinya yang berbukit, kondisi hutannya juga masih relatif baik. Namun kini terancam akibat kehadiran sejumalah perusahaan dan terbukanya akses karena pembukaan koridor.
Keadaan ini mendorong terjadinya okupasi lahan yang dilakukan oleh masyarakat. Akibatnya terjadi open acces resources tragedi (tragedi akses sumberdaya alam yang terbuka). Perlindungan dan pengamanan yang maksimal, harusnya menjadi pilihan mutlak yang harus dilakukan, jika tidak maka hamparan hutan dataran rendah Sumatera dengan nilai konservasi tinggi ini akan tinggal kenangan, disusul dengan bencana lingkungan akibat rusaknya ekologi. (Sumareni-KKI Warsi)

Selasa, 30 April 2013

Meretas Jalan Panjang di Blora


Segelas white coffe masih menyisakan beberapa tegukan. Sendiri dalam ruangan berukuran 4x5 meter membawa kenangan saya beberapa tahun lalu di Tanah Blora. Sebuah Kebupaten Miskin di Jawa yang memiliki kekayaan alam luar biasa. Kabupaten yang 65 % wilayahnya merupakan hutan Jati ini merupakan penghasil minyak bumi cukup besar yang dikenal sebagai Blok Cepu yang saat ini dikuasai oleh Epson Mobile. Namun ironisnya masyarakat Blora hanya sedikit menikmati hasil kekayaan alamnya. Masyarakat Blora juga terkenal dengan Ajran Samin, sebuah ajaran kebatinan yang mengenai budi pekerti manusia. Ajaran ini terkenal dengan konsep Kawulo Manunggaling Gusti Sangkan paraning Dumadi. Konsep ini mirip dengan ajaran Syekh Siti Jenar yang juga mengajarkan mengenai Kawulo Manunggaling Gusti. Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya. Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal darirohTuhan. Ajaran samin diajarkan oleh Samin Surosentiko, lahir pada 1859 dengan nama Raden Kohar di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Raden Kohar mengubah namanya menjadi Samin Surosentiko sebab Samin adalah sebuah nama yang memiliki konotasi wong cilik. Gerakan Samin pada waktu itu kental dengan perlawanan mealawan Belanda. Gerakan samin yang terus berkembang dan bertambah banya pengikutnya menolak untuk membayar pajak. Gerakan perlawanan kekerasan ini membuat belanda resah dan akhirnya melalui Raden Pranolo, asisten wedana Randublatung, Samin Surosentiko ditangkap dan dibuang keluar Jawa hingga wafat pada tahun 1914. Namun, walalupun begitu gerakan samin masih tetap berkembang hingga saat ini. Hal itulah kemudian yang menjadi ketertarikanku ketika mendengar Blora. Ketika sudah menginjakan kaki di Blora maka tujuanku pertama kali adalah menggali informasi mengenai ajaran samin secara langsung.
Bangunan unik masyarakat samin, terbuat dari daun jati

Untuk menuju ke Blora, biasanya ada dua rute yang biasanya digunakan, pertama melalui arah solo dan kedua melalui arah semarang. Dari arah semarang perjalanan dapat dilanjutkan menggunakan kereta api yang menuju arah Surabaya. Ada dua jenis kereta yang dapat  kita gunakan yaitu kereta api Kertajaya jurusan Jakarta Surabaya atau Blora Jaya Ekspres jurusan Semarang Bojonegoro/Cepu. Blora Jaya ekspres dapat menjadi pilihan yang tepat karena sealin lebih cepat kereta api ini nampaknya memang diperuntukan bagi para pekerja yang mencari nafkah diwilyah Cepu dan Bojonegoro. Industrialisasi terutama minyak memang menyerap banyak tenaga kerja di wilayah tersebut. Tiket Blora Jaya Ekspres dijual dengan harga Rp 28.000, tanpa tempat duduk, alias berebutan tempat duduk. Dari arah Semarang ada dua pemberangkatan yaitu pada jam 09.00 dan jam 17.00 WIB. Setiap akhir pekan, kereta ini akan penuh sesak dengan para buruh yang hendak pulang kekampung halamannya. Jika akan menuju Blora, maka kereta api tidak melewati kotanya, melainkan lewat Blora bagian Selatan. Dulu kereta api masih melewati kota, namun entah sejak tahun berapa rel kereta api disana tidak dipakai lagi, bahkan hingga sekarang masih ada bekaas stasiun yang kini dipakai sebagai terminal sementara atau tempat transit bus.
Saat pertama kali menuju kesana, saya berniat naik kereta api ini. Namun sialnya saya  baru sampai di stasiun Tawang Semarang pukul 09.30 WIB. Terpaksa saya menunggu kereta berikutnya pada pukul lima sore. Mumpung berada di Semarang, saya tak mau menyia-nyiakan waktuku begitu saja. Aku mengontak beberapa temanku untuk memberikan referensi tempat-tempat menarik yang dapat aku kunjungi. Ada beberapa tempat yang menjadi pilihan, Simpang Lima, Lawang Sewu, Tugu Muda dan Gereja Blendug.  Akhirnya pilihan  jatuh ke Simpang Lima. Seringkali saya menonton di Televisi mengenai keramaian Simpang Lima yang membuat saya  penasaran untuk melihat secara langsung tempat ini. Untuk menghindari nyasar, saya memilih menggunakan becak untuk mengantar kesana dengan ongkos sepuluh ribu rupiah. Sesampai di Simpang lima, ada banyak pilihan temapat untuk dikunjungi, dari Gramedia sampai Citraland mall, Robinsondan Matahari. Kesemuanya tempat-tempat yang mengharuskan menguras isi kantong. Sayangnya para penjual kaki lima yang dulunya ramai berdagang disini kini sudah dipindahkan ke kawasan Tugu Muda. Menjelang sore cukup sudah aku menikmati kota Semarang ini yang ternyata sangat panas, padahal banyak wilayah yang berupa perbukitan yang memang sudah beralih fungsi menjadi pemukiman super padat.
Suasana didalam kereta Blora Jaya Ekspres
Sesampai kembali di Stasiun Tawang dang mengantongi tiket menuju Blora saya bergegas untuk masuk kedalam dan menunggu kereta. Dan karena hari itu akhir pekan, nampaknya kereta ini akan sesak dipenuhi penumpang. Dan memang akhirnya saya harus berebutan tempat duduk, namun syukurnya saya bisa mendapat tempat duduk yang disediakan dengan model seat 2-2 dan disediakan juga tempat untuk bergantungan tangan disepanjang bagian tengahnya. Stasiun yang menjadi tujuanku adalah Stasiun Randublatung, satu stasiun sebelum stasiun terakhir yaitu Cepu. Perjalanan menuju Randublatung memakan waktu sekitar tiga setengan jam, dan saya baru sampai disana pukul setengah Sembilan malam. Tentunya sudah terlalu malam untuk melanjutkan perjalanan, mengingat lokasi tujuanku Desa Ttlogotuwung masih harus ditempuh sekitar satu jam perjalanan lagi melewati kawasan hutan jati. Akhirnya ssaya putuskan untuk bermalan di stasiun dan melanjutkan perjalanan pada esok harinya. Beruntung ada seorang tukang ojek yang menawarkan untuk bermalam di sebuah masjid di depan rumahnya, dan kekesokan harinya dia bersedia untuk mengantarkanku ke Desa Tlogotuwung. Karena tidak ada pilihan lain yang lebih baik lagi akhirnya saya menerima tawarannya.
Jalan menuju desa, dengan waktu tempuh 1-2 jam perjalanan
Selain ojek, transportasi lain yang dapat digunakan adalah mobil bak terbuka yang biasanya membawa sapi namun jarang sekali lewat. Ongkos ojek menuju ke desa cukup mahal Rp 40.000,- bagi masyarkat yang tidak mempunyai kendaraan bermotor sendiri tentunya kan sangat merepotkan. Untungnya jasa perkreditan sepeda motor yang sebenarnya mencekik leher bias diakses dengan mudah. Setidaknya itu menjadi pilihan yang tepat, mempermudah mobilitas masyarakat. Sepanjang perjalanan, mata akan disuguhi oleh pemandangan hamparan hutan jati yang sangat luas. Namun sayangnya wilayah ini juga menjadi korban penjarahan besar-besaran paska reformasi. Sejumlah hutan di jawa terut menjadi korban korban termasuk di wilayah blora ini. Harapan untuk melihat hutan jati yang besar dan rimbun pupus sudah. Sepanjang perjalanan hanya ada pohon jati yang baru berusia 4 s/d 5 tahun. Sengatan panas metahari menjadi sangant terasa di wilayah ini, belum lagi debu yang berterbangan ditiup angin. Beberapa pohon jati yang besar masih sempat ditemui. Kebanyakan pohon-pohon tersebut tumbuh ditempat yang disakralkan seperti kuburan, orang tidak berani menjarah di tempat-tempat seperti ini. Mungkin seharusnya hutan disakralkan saja dan dibumbui mitos-mitos menakutkan sehingga orang tidak berani untuk merusak hutan. Sebenarnya di tradisi jawa sudah berkembang istilah "jangan masuk kehutan, wingit". Hal tersebut dimaksudkan agar hutan tetap terjaga lestari, namun karena nilai-nilai tersebut sudah luntur sepertinya usaha dan kesadaran yang besar untuk memperbaiki tatanan budaya kita menjaga lingkungan. 
Masyarakat menjemur jerami untuk makanan sapi
Memasuki wilayah perkampungan, akan melewati persimpangan, jika belok kiri dari arah Randublatung akan menuju Desa Tlogotuwung, Jika belok kanan akan menuju Desa Getas, dimana di Getas ini ada Kampus Lapangan Fakultas Kehutanan milik UGM. Jika mengambil jalan lurus maka akan mengantar kita ke Banjarejo, Ngawi, yang merupakan akses lain jika akan menuju Blora dari arah Selatan. Ojek yang saya naiki terus melaju ke arah Desa Tlogotuwung. Dari persimpangan ini jaraknya masih sekitar 5 km. Akhirnya saya memasuki gapura Desa Tlogotuwung, nampak rumah-rumah kayu khas jawa tertata rapi sepanjang jalan desa. Halaman luas dengan tumpukan jerami untuk makanan sapi. Saya langsung menuju rumah kepala desa, dari situ kemudian saya diantarkan menuju rumah Mbah Ngalim. Di rumah inilah saya akan tinggal. Seperti rumah - rumah lainnya rumah mba Ngalim terbuat dari kayu jati tua yang dirawat dengan bagus sehingga terlihat bagus dan enak dipandang mata. Saya dikejutkan, ketika mengunjungi beberapa rumah disini. Lazimnya, binatang peliharaan seperti ditempatkan di kandang tersendiri. Namun hal itu tidak untuk disini. Sapi-sapi peliharaan mereka ditempatkan jadi satu dengan rumah. Tidak hanya bau tentunya, hal itu juga tidak baik untuk kesehatan.
Mencangkul menjadi pekerjaan yang biasa bagi perempuan di Blora
Secara history, perkampungan disini awalnya adalah para blandong atau penebang kayu saat Belanda masih menguasai Indonesia dan akhirnya menetap dan beranak pinak. Perjalananku kemudian di tanah Blora ini banyak terlibat denga perempuan-perempuan desa. Setiapharinya, setelah menyelesaiakn pekerjaan rumah tangganya, perempuan-perempuan ini kemusian pergi ke ladang sekedar untuk membantu suami atau mencari kayu bakar. Tak sedikit dari mereka juga melakukan aktivitas yang lazimnya dilakukan laki-laki seperti mencangkul atau memotong kayu. Bu Suntini, ibu dengan seorang anak ini setiap harinya mengambil air yang lokasinya cukup jauh. Bagi Bu Suntini itu adalaj pekerjaaan yang sudah biasa dilakukan. Tak hanya mengurusi rumah tangga, Bu Suntini juga kadang harus iktu menopang ekonomi rumah tangga. Penghasilan suaminya yang bekerja sebagai petani seringkali tidak cukup utnuk mencukupi kebutuhan harian. Bersama dengan teman-temannya yang lain,Bu suntini mencoba membuat kue dan beberapa jenis makanan lainnya. Namun sayangnya akses transportasi yang susah, membuat Bu Suntini dan tetangga-tetangganya yang lain kesulitan untuk memasarkan dagangannya. Selain bergelut dengan aktivitas rumah tangganya, Bu Suntini juga memperjuangankan agar Desa memperhatikan hak-hak perempuan di desanya. Dia ingin agar pendapat perempuan juga didengarkan dan diakuai oleh masyarakat.Tak sedikit masyarakat yang memandang sebelah mata usahanya ini, karena memanga perempua desa biasanya selalu identik dengan sumur, kasur dan dapur. Blora tak hanya mengajarkan saya bagaimana perempuan miskin desa begitu tertinggal secara pendidikan dan kontrol sosial. Disini saya belajar, bahwa dibalik tubhnya yang lemah, perempuan memiliki kekuatan yang luar biasa.


Senin, 29 April 2013

Mengenal Lebih Dekat Sosok Sultan Thaha Syaifudin (1816 - 1904)

Sultan Thaha Syaifudin

Sepertinya Nama Sultan Thaha Syaifudin banyak diabadikan sebagai nama tempat atau jalan di Provinsi jambi ini. Ketika pesawat yang saya naiki mendarat di Bandara Sultah Thaha Jambi, saya terus bertanya-tanya siapakah Beliau hingga namamya diabadikan sebagai nama bandara. Namun Sayangnya tidak banyak referensi  yang cukup menjelaskan siapakah sosok yang cukup fenomenal ini di Jambi. 

Sultan Thaha Syaufudin merupakan Pahlawan nasional asal Jambi yang dilahirkan pada pertengahan tahun 1816 dengan nama asli Sultan Raden Toha Jayadiningrat yang saat kecil sering dipanggil Raden Thaha Ningrat. Saat dinobatkan menjadi sultan pada tahun 1855 usia Sultan Thaha masih tergoleng cukup muda, yakni 22 tahun. Sultan Thaha menggantikan Sultan sebelumnya yaitu Sultan Nazarudin. Berbeda dengan ayahnya, Sultan Fachruddin, Sultan Thaha justru memperlihatkan perlawanan secara frontal kepada Belanda. Pada 1834, ayahnya menandatangani kontrak kerjasama dengan Belanda.

Adapun Sultan Thaha, justru memakai taktik mengelak dan menghindar kontrak.  Sultan Thaha bahkan menolak semua pasal yang membatasi kekuasaan sultan. Junaidi T Noor, sejarawan dari Jambi menyebut Thaha berpantang berhadapan muka dengan Belanda.

Residen Palembang, PF Laging Tobias pada 1881 mendeskripsikan Thaha sebagai orang yang energik lagi bertempramen panas. Ia diluar "kebiasaan" Jambi yang lamban. Karenanyalah Sultan Thaha adalah musuh utama kolonial Belanda ketika itu, walaupun secara formal kekuasaan Thaha berakhir pada 1858. Tapi kurang lebih 40 tahun ia berjuang di belakang layar sebelum akhirnya mangkat pada April 1904.  pada pertempuran di Sungai Aro dan menjadi  sultan terakhir dari kesultanan jambi pada era itu.
Photo ini di dapat dari situs http://collectie.tropenmuseum.nl/
Dengan Judul Groepsportret met de Sultan van Djambi en zijn gevolg
(Potret Kelompok Sultan Jambi dan rombongannya)
Het originele bijschrift bij deze foto luidt: "De laatste sultan van Jambi met zijn gevolg". Mogelijk is hier Sultan Thaha Syaifuddin van Jambi (1816-1904) geportretteerd. Hij werd in 1904 gevangengenomen en gedood door Nederlandse militairen. Het huidige vliegveld bij de gelijknamige hoofdstad van het district Jambi is naar hem vernoemd.
(Keterangan asli untuk foto ini berbunyi: "sultan terakhir Jambi dengan rombongannya."Mungkin digambarkan di sini Sultan Thaha Syaifuddin Jambi (1816-1904) . Dia ditangkap dandibunuh pada tahun 1904 oleh tentara BelandaSaat ini bandara di ibukota Jambi dinamai menurut namanya.)

Sebagai sultan muda, dalam melawan Belanda ternyata Sultan Thaha mencoba membuka jejaring ke sultan Turki. Sebuah terobosan yang boleh jadi belum dicoba oleh para pendahulunya. Ibu Sultan Thaha yang keturunan Arab menurut Scholten memberi andil soal keputusan sultan muda ini untuk meminta dukungan diplomatik dari kesultanan Turki. Langkah ini, pada 1873 diikuti pula oleh kesultanan Aceh. BuktiuUsaha diplomatik itu dapat dilihat dari adanya kalung bintang kejora yang merupkan pemberian dari Khalifah Utsmani di Turki untuk Sultan Thaha melalu utusannya. Saat ini kalung bIntang kejoran tersebut disempan di Museum Siginjei Jambi.

Sultan Thaha Syaifudin dimakamkan di tengah kota Muaro Jambi. Namun ada versi lain yang menyebutkan lokasi yag berbeda mengenai letak lokasi makan Sultah Thaha Syaifudin. Versi lainnya mengatakan makam sang sultan ada di Desa Betung Berdarah, Kecamatan Tebo Ilir. Versi ini mengatakan Sultan Thaha yang sudah uzur tertembak oleh Belanda dalam sebuah pertempuran. Dalam keadaan luka parah, sultan dilarikan oleh pasukannya.

Sultan kemudian meninggal dalam usia 88 tahun pada 1904 (beliau lahir di Jambi pada pertengahan1816). Oleh pengikutnya, beliau dimakamkan di Desa Betung Berdarah. Hingga sekarang, versi makam Betung Berdarah ini masih terus disebut-sebut dan dipercayai oleh cukup banyak orang.

Versi lainnya adalah adalah Sebuah Makam yang berlokasi di Dusun Tanah Garo, Olak Kemang, Kecamatan Muara Tabir, Tebo. Tak hanya makam sang sultan, di lokasi yang sama juga ada beberapa makam lainnya yang disebut-sebut sebagai hulu balangnya. (Leo)


Senin, 22 April 2013

Seri Menggapai Atap Andalas : Terjalnya Gunung Dempo

Puncak Dempo
Tercapai sudah anganku untuk menginjakan kaki di puncak tertinggi Sumatra, puncak Kerinci. Sepertinya saya merasa tidak pernah cukup, besar hasrat saya untuk mencicipi setiap inci tanah Sumatra ini. Target selanjutnya adalah mendaki Gunung Dempo di Sumatra Selatan. Dari sebuah grup di facebook kebetulan ada seseorang yang memposting ajakan untuk mendaki Dempo,kebetulan sekali sepertinya. Setelah berkordinasi mengenai teknis pemeberangkatan, saya kemudian memesan travel jurusan Palembang. Tak banyak referensi travel yang saya peroleh dari internet. Pilihan akhinya jatuh di travel ceria, dengan promonya yang menawarkan pelayanan yang ramah dan ekslusif. Jadi tak ada salahnya saya mencoba. Sekitar pukul tujuh malam, travel menjemput saya. Sebuah Inova hitam dengan hanya lima orang penumpang. Cukup nyaman memang , namun ini juga sebanding dengan kocek yang harus saya keluarkan, Rp110.000,- untuk sekali perjalanan ke Palembang.
Dini hari, travel sudah memasuki kota palembang. Saya sendiri tak tau tujuan yang hendak saya tuju. Setelah menghubungi seorang teman yang yang akan menjemput. Saya disarankan untuk turun di loket ltravel saja dan menunggu disana hingga pagi sampai jemputan datang. Sepertinya ini pilihan yang paling tepat, mengingat ini pertama kalinya saya datang ke Kota Palembang. Setelah mengantar penumpang terakhir, akhirnya sampai juga di loket.  Lega rasanya bisa  meluruskan punggung, walaupun hanya di atas kursi. hari sudah beranjak siang, cukup lama saya menunggu, namun belum ada tanda-tanda teman saya akan menjemput. Suasana sekitar loket mulai ramai dan saya sendiri sudah mulai merasa tak enak. Untungnya tak lama kemudian jemputan yang sya nantikan datang, "Dio" demikian dia memperkenalkan diri. Sambil berbincang mengakrabkan diri saya diantar ke halte Bus jurusan Universitas Sriwijaya di  Inderalaya, Ogan Ilir. Sementara Dio sendiri akan menyusul di siang harinya kerena masih ada beberapa urusan. Jembatan Ampera di atas sungai Musi menjadi pemandangan menarik saya yang pertama di Kota Palembang ini. Nampak di bawah ramai orang berlalu lalang dan berjulan seperti pasar apung menggunakan perahu. Sayangnya saya tidak sempat mengabadikan moment-moment tersebut.
Untuk menuju ke Universitas Sriwijaya, saya masih harus menempuh sekitar satu jam perjalanan karena memang letaknya berada di luar kota Palembang. Di sana sudah ada seorang teman lagi yang akan menjemput saya. sesuai dengan arahan Dio, Saya nanti turun di timbangan setelah itu ada seorang kawan yaitu Soleh yang akan menjemput. Setiba di Timbangan, saya kemudian menghubungi Soleh. Tak lama Soleh pun datang dan mengantar saya untuk bergabung bersama rekan-rekan yang lain.

Menjelang siang kami sudah berkumpul dan mulai mempacking segala keperluan yang kami butuhkan diperjalanan nanti. Kampus Unsri menjadi titik start perjalanan kami menuju Kota Pagar Alam, tepat di kaki bukit Gunung Dempo. Bus Melati berukuran sedang akan menjadi kendaraan yang membawa kami menuju Kota Pagar Alam yang akan  ditempuh selama kurang lebih 7 jam perjalanan. Sesuai dengan ongkosnya yaitu Rp 30.000.- kami harus berdesak-desakan dan kpanansan di dalam Bus. Sebenarnya ada pilihan lain yang lebih nyaman yaitu menggunakan travel telaga biru dengan ongkos Rp 70.000,-
Tengah malam kami sudah memasuki Pagar Alam. Jalanan semakin terjal dan berliku-liku, udara juga semakin terasa dingin. Karena berombongan Bus mau mengantar kami menuju Pabrik PTPN III yang lokasinya masih berjarak sekitar 15 km dari terminal Pagar Alam. Sesuai dengan namanya pagar alam memang dikelilingi oleh perbukitan dengan hamparan kebun teh yang cukup luas. Dari Pabrik PTPN III tepatnya di samping masjid, kami langsung menuju tempat Pak Anton. Rumah Pak Anton memang menjadi persinggahan para pendaki dimana dibelakang rumahnya memang dibangun pondok yang dapat digunakan untukbermalam dengan cuma-cuma.Pan anton sendiri merupakan seorang yang dituakan seantero Sumsel dan Lampung oleh kalangan pecinta alam. Untuk melanjutkan pendakian, kami harus menuju kampung IV yang merupakan kampung terakhir di kaki Gunung Dempo ini. Untuk menuju kampung IV masih membutuhkan waktu satu jamperjalanan lagi yang bisaditempuh menggunakan Truk yang beroperasi tiap pagidan sore untuk kembali. Namun jika ingin mencarter kendaraan, kitabisa minta tolong Pak anton untuk mencarikan kendaraan dengan biaya Rp 10.000 s/d 20.000 tergantung jumlah orang yang naik. 

Waktu masih menunjukan pukul 07.00 WIB kami sudah siap dengan ransel kami masing-masing. menggunakan truk yang dipesankan oleh Pak Anton kami melanjutkan perjalanan ke kapung IV. Perjalanan menuju kesana sungguh mendebarkan jalan-jalan berkelok dengan tikungan yang cukup tajam serta jalan berbatu menjadi suguhan selama perjalanan. Tak jarang kami salaing berbenturan karenan guncangan truk yang cukup keras. Namun pemandangan hamparen kebun teh yang hijau sejauh mata memandang menjadi pengganti yang setimpal. Sementara di depan kami nampak  jelas Gunung Dempo dengan puncaknya yang sedikit terselimuti oleh awan.
Setiba di kampung IV kami langsung menuju ke sebuah warung yang memang sering menjadi persinggahan pendaki sebelum atau sesudah mendaki Dempo. Di warung ini saya melengkapai sejumlah logistik yang memang belum sempat terbeli kemarin. Dari sini kemi meneruskan pendakian menuju shelter peristirahatan yang letaknya tidak terlalu jauh hanya  sekitar lima menit dari kampung IV. Menuju ke shelter ini kami melintasi sebuah sungai yang cukup besar dengan aliran yang deras. Mengingat perut belum terisi makanan sejak pagi tadi, kami beristirahat dulu di shelter ini sambil menyiapkan makanan dan mengisi perbekalan air.
Perjalanan kami lanjutkan menuju kebun teh. Masih menyusuri jalan perkebunan yang masih relatiflandai akhirnya kami sampai dititik pendakian. Ada sebuah plang yang menunjukan titik pendakian gunung Dempo.  Dari sini Jalur mulai menanjak dan licin. Kiri kanan masih berupa kebun teh hingga kami kemudian sampai ke pintu rimba. Sesuai dengan namanya, daerah ini merupakan batas antara perkebunan dan hutan. Memasuki hutan, medan mulai cukup susah, tanah liat yang licin dengan jalur yang seperti rekahan karenan tekikis air hujan. Beberapa kali kaki saya terjepit dan terpeleset saat melewati jalur ini. Setelah jam perjalanan akhirnya kami sampai di Shelter 1. Dua bungkus snack dan minuman hangat kami siapkan untuk menambah tenaga. walaupun belum tengah hari namun perut saya sendiri sudah keroncongan. Setelah cukup beristirahat perjalanan kami lanjutkan kembali target kami adalah camp di Pelataran.

Jalur yang kami lalui semakin sulit, Selain Terjal banyak akar yang menjulur keluar karena tanahnya sudah terkikis oleh aliran air. Jika tak berhati-hati, kita bisa terjatuh tersandung akar. Tanjakan-tanjakan terjal dengan kemiringan hampir 90 derajat seringkali saya temuai dan untuk melewatinya saya menggunakan lutut saya sebagai tumpuan. Akar-akar yang menjulur juga bisa dimanfaatkan untuk pegangan. Kabut semkin tebal dan gerimis-gerimis kecil menyertai perjalanan kami. Hal ini cukup memepersulit karena tentusaja medan menjadi semakin licin. Setelah menempuh sekitar dua setengah jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Shelter II. Hujan pun turun semakin deras dan akhirnya kami memutuskan untuk mendirikan camp di tempat ini. Untungnya di Gunung Dempo ini hampir setiap Pos terdapat mata air sehingga kami tak perlu khawatir akan kekurangan air minum.

Rencana kami untuk melanjutkan perjalanan ke puncak pagi-pagi buta tidak berjalan mulus. Akhirnya kami baru bisa melaknjutkan perjalanan sekitar pukul tujuh pagi. Karena jarak kepuncak yang tidak terlalu jauh lagi, kami meninggalkan barang-barang kami di shelter II ini. menuju ke puncak, medan yang kami lewati masih seperti sebelumnya. namun karena tidak membawa beban, kami bisa melewatinya dengan lebih mudah. Belum ada satu jam berjalan kami sudah memasuki medan batu cadas. Selain terjal, medan ini hampir semuanya dialiri oleh air. Ini membuat kami harus semakin berhati-hati dalammelangkah. Vegetasi juga sudah berubah, berupa tanaman perdu seperti kaliandra. Pertanda kami  sudah semakin mendekati puncak. Tak lama akhirnya akmi sampai dipuncak Dempo. Puncak ini bukan puncak utama, masih ada puncal lagi yang terlihat jelas dari sini yaitu puncak merapi dengan kawahnya yang katanya sangat indah. Untuk menuju ke puncak Merapi, kami harus turun ke Pelataran dan kemudian baru mendaki puncak Merapi. Di puncak Dempo ini ada beberapa tenda didirikan. Sepertinya sedang ditinggalkan pemiliknya mendaki puncak Merapi pagi tadi.
Puncak Merapi
Jalur turun menuju pelataran cukup terjal dan tidak begitu jauh dari puncak Dempo ini. Sesuai dengan namamnya pelatara ini berupa hamparan tanah datar yang cukup luas. terletak diantara puncak Dempo dan puncak Merapi. Pemandangan disini sangant indah, tentunya sangat menarik jika menghabiskan malam disini. Sayangnya kemarin kami tak berhasil mencapai tempat ini. Hari sudah beranjak siang saat kami sampai di pelataran, nampak sudah banyak para pendaki  lain yang sudah kembali turun. Tak ingin menghabiskan waktu, kami secepatnya melanjutkan perjalanan menuju puncak selanjutnya. Kabut tebal mulai naik. Kami berharap-harap cemas, karena pemandangan sumatra dari puncak dan kawah tentunya pasti akan terhalang. Rupanya kabut semakin tebal disertai rintik-rintik hujan dan udara yang semakin dingin. Akhirnya kami berhasil menginjakan kaki di puncak Merapi ini. Teriakan kegembiraan meluap dari beberapa kawan. Tak lupa mereka bersujud syukur dan berdoa. Senang rasanya menyaksikan semua itu. Walaupun tidak mendapatkan pemandangan yang diharapkan, bagi saya kebersamaan terasa lebih penting dari puncak itu sendiri. (leo)

Minggu, 14 April 2013

Masa Depan Gajah Sumatra Di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh : Terdesak Di Rumah Mereka Sendiri

Gajah Sumatra yang semakin terdesak di rumah mereka sendiri
Banyak Orang beranggapan bahwa Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT) merupakan habitat gajah sumatra. Hal ini merupakan pernyataan yang keliru. Kontur TNBT yang berbukit-bukit dan terjal bukan tempat hidup yang disukai oleh gajah. Kawanan gajah banyak tersebar disekitar kawasan TNBT yang berada di provinsi Riau Dan Jambi. Di Kabupaten Jambi TNBT berada di dua kabupaten yaitu Kabupaen Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Populasi gajah Jambi ini banyak berada di Kabupaten Tebo yang tersebar di Sekitar wilayah penyangga dan HTI. Menurut pantauan Forum Mhout, jumlah gajah di Jambi ini sekarang ini hanya tersisa sekitar 40 ekor (sumber antara).

Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah semakin sempitnya ruang hidup gajah di kawasan ini. Total luas kawasan TNBT saat ini adalah 144.223 ha dengan kecenderungan semakin sempitnya tutupan hutan alam. Setidaknya ada sebelas perusahaan yang memegang konsesi pengeloaan hutan di sekitar kawasan TNBT. Berdasarkan data dari Frankfurt Zoological Society (FZS) terdapat 11 perkebunan Sawit, HTI dan tambang batubara yang berbatasan langsung dengan kawasan TNBT. Kawasan yang menjadi lahan konsesi perusahaan-perusahaan ini sebagian besar adalah habitat gajah, harimau dan orangutan sumatera. Kesebelas perusahaan ini adalah sebagai berikut :
   1. PT. Tebo Multi Agro
   2. PT. Lestari Asri Jaya
   3. PT. Arangan Lestari
   4. PT. Asian Agro
   5. PT. Agro Wiyana
   6. PT. Wanamukti Wisesa
   7. PT. Tebo Alam Lestari
   8. PT. Persada Bara Mandiri
   9. PT. Global Alam Lestari
  10. PT. Tebo Agung Internasional
  11. PT. Kelola Tebo Energi
   ( sumber ; mongabay)
Aktivitas pembukaan hutan disekitar TNBT oleh PT LAJ
Semakin sempitnya ruang jelajan gajah tidak hanya disebabkan oleh alih fungsi hutan oleh perusahaan tersebut. Desakan cukup besar juga berasal dari aktivitas masyarakat yang melakukan perambahan hutan. Aktivitas ini tidak hanya mempersempit ruang jelajah gajah tetapi juga semakin meningkatkan konflik antara manusia dan gajah. Setidaknya ada sekitar lima desa yang menjadi daerah rawan konflik manusia dan gajah di kabupaten Tebo ini. Yatu Desa SP 2, Simambu, Sekalo, Suosuo, Dan Desa Pemayungan. Konflik yang terjadi antara manusia dan gajah ini telah menyebakan ratusan hektar kebun sawit dan puluhan pondok milik masyarakat menjadi korban. Serta Korban jiwa baik di pihak manusia maupun gajah.

Keseriusan pemerintah untuk melesatarikan gajah, tidak cukup dengan hanya menetapkan status gajah sumatra ini sebagai binantang yang dilindungi. Perlu tindakan serius untuk menata kembali ekosistem dan tata ruang yang ada di sekitar kawasan TNBT ini. Pemerintah perlu melakukan restorasi dan memoratorium kawasan hutan di sekitar kawasan TNBT. Saat ini posisi gajah tejepit diantara perkebunan dan ladang-ladang milik masyarakat. sehingga perlu dibangun koridor hijau yang akan menghubungkan antar petak hutan yang satu dengan yang petak hutan lainnya yang masih tersisa.  Di beberapa wilayah sudah terbentuk tim mitigasi konflik yang bertujuan untuk mengurangi resiko konflik manusi gajah. FZS sendiri telah melakukan pemasangan pagar listrik dan beberapa GPS collar untuk memantau posisi gajah. Namun semua itu belum cukup tanpa komitmen yang kuat. Perlu dibuat semacam rencana aksi untuk penangggulangan konflik manusia gajah ini yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan perusahaan. (leo)



Selasa, 09 April 2013

Kekerasan, Militer dan Premanisme

"Jika engkau memaafkan atau membebaskan seorang diktator dan  koruptor, kenapa engkau penjarakan preman pasar dan pencuri ayam. (Bathi Moelyono: Korban Petrus)"


Pasukan Koppasus sedang berlatih; Sumber Google
Dalam sela perjalananku kembali ke Muara Tebo sebuah kota kecil terletak di tengah Provinsi Jambi, Seorang Bapakyang satu travel tiba melontarkan sebuah pertanyaan iseng. "Sebagai orang biasa bagaimana kira-kira  pendapatnya dengan kasus penembakan Kopassus terhadapa napai di Jogja itu?" Kira-kira seperti itulah pertanyaan seorang bapak berusia paruh baya yang duduk di samping saya. Belum sempat ada yang memberkan jawaban Bapak itu sudah menjawab sendiri pertannyaannya. "Saya setuju dengan apa yang dikaukan Angota Kopassus itu, yang ditembak itukan preman yang meresahkan masyarakat. Preman tersebut menembak salah serang anggota Kopasus. Rasa kesatuan Korplah yang memang mendorong mereka." Bapak tersebut memberikan jawabannya. Seorang Bapak yang duduk di bangku depan kemudian memberikan tanggapan. "Betul Pak saya juga setuju, Pemerintah saat ini payah,tidak tegas. Kalau seperti jaman dulu awal Pak Harto preman mana ada yang berani,bertato aja takut dan was-was kena garukan". Kedua orang ini kemudian berlanjut dengan pembicaraan panjang mengenai situasi politik pemerintahan indonesia dari zaman Presiden soekarno, Soeharto hingga Pemerintahan Presidn SBY saat ini.
Peristiwa penyerbuan sekelompok orang ke Lapas Cebongan Sleman yang berujung dengan tewasnya empat orang napi memang cukup menyita perhatian publik. Belakangan kemudian diketahui bahwa sekelompok orang tersebut adalah angggota Kopassus yang kemudian memang dibenarkan oleh Pangdam Hardiono Saroso mereka dalam pernyataanya di media. Diduga motif yang melatarbekangi adalah balas dendam atas tewasnya salah seorang kerabat mereka oleh preman di Hugos Cafe Jogja. Tanggapan pun kemudian bermunculan dari masyarkat, politikus, pengamat dan aktivis. Dukungan kepada Kopassus tidak hanya muncul dari obrolan dua orang yang saya jumpai di travel ini. Bermacam dukungan dari mulai bentuk spanduk, penggalangan koin hingga media sosial banyak bermunculan.
Jika kita lihat kebali kebelakang saat era pemerintahan Soeharto  pernah dberlakukan operasi Petrus (Penembakan Misterius) yang memang membuat jera para preman. Aksi premanisme bisa dibilang surut dan berhasil dihilangkan. Namun perlu kita sadari bersama, bahwa perkembangan premanisme tidak hanya sebatas tindakan kekerasan atau kejahatan oleh orang saja. Premanisme yang dilkukan oleh oknum berseragam dan berpangkat jauh berkembang seperti jamur. Bisnis pengamanan-pengamanan yang dilakuakn aparat berseragam hingga kasus korupsi juga merupakan aksi premanisme yang jauh menyengsarakan rakyat. Semoga mata kita tidak dibutakan oleh semua hal itu.  Saya sendiri tidak yakin bahwa tindakan penyerbuan lapas cebongan ini mmerupakan wujud aksi pemberantasan preman. Jika tidak ada rekan anggota Koppasus yang tewas oleh preman saya yakin hal ini pasti tidak akan terjadi. Jika memang Kopassus memang serius memberantas premanisme, banyak hal yang bisa dilakukan ketimbang melakukan penyerbuan ke lapas.
Saat kemandulan hukum bukan berarti senjata yang menjadi jawaban. Saya pikir tidak ada satu alasan pembenaran pun untuk menegaskan bahwa saat preman tidak bisa diatasi kemudian moncong senjata yang berbicara. 

Jumat, 05 April 2013

Aren Dalam Tantangan Zaman


 
Pak Nur Sedang Menderes Aren
Kabut tebal yang turun belum sepenuhnya hilang.  Daun dan rerumputan masih Nampak basah. Burung-burung juga nampaknya enggan berkicau di tengah udara yang cukup dingin itu.  Sinar matahari yang samar-samar muncul sepertinya belum cukup untuk memberikan kehangatan setelah semalam diguyur hujan deras. Pak Nur Cahyo (54) bersama dangan belasan penderes aren lainnya di Dusun Deles Desa Sirongge sudah bersiap siap untuk mengambil hasil sadapannya yang semenjak sore sudah dipasang di pohon aren miliknya. Dingin dan tebalnya kabut pagi itu tidak menyurutkan niat Pak Nur untuk menderes. Hasil deresannya tersebut nantinya akan diserahkan kepada istrinya untuk diproses menjadi gula aren.
Penderes adalah istilah yang diberikan kepada para penyadap pohon aren untuk kemudian diolah menjadi gula. Menderes sudah menjadi pekerjaan yang menghidupi mereka selama puluhan tahun. Tidak jelas siapa yang mengawali aktivitas ini, namun dari menderes inilah masyarakat telah bertahan hidup. Dan masyarakat menyebutnya ini sebagai “air gaib”.  Hampir selama lima belas tahun ini Pak Nur sudah menderes pohon aren. Setiap pagi – pagi buta ia selalu pergi ke kebun dan hutan untuk mengambil hasil deresannya. Kemudian menngantinya dengan pongkor atau tempat penampung  nira yang masih kosong untuk kembali diambil pada sore harinya. Jadi dalam sehari pohon aren dapat disadap selama dua kali. Tak banyak nira yang diperoleh oleh Pak Nur pada pagi ini. Pada musim-musim peralihan cuaca seperti ini memang produktivitas nira sedang menurun. Kualitas nira yang dihasilkan juga jelek. Sehingga sering juga gula yang dihasilkan gagal atau disebut sebagai “gula gemblung”.
Pada sekitar tahun 90-an masih banyak terdapat penderes aren. Pohon aren yang tumbuh pun masih sangant banyak. Hampir setiap rumah mempunyai pohon aren. Namun saat ini hanya tingggal beberapa puluh saja yang tersisa. Pohon arennya pun tinggal sedikit. Semakin menurunnya produktivitas pohon dan sangat minimnya regenerasi penderes baru menyebabkan aktivitas menderes aren semakin sedikit. Banyak masyarakat yang memilih untuk menjual pohon arennya karena banyak pihak yang mengincar pohon aren untuk diambil sari tepungnya atau yang disebut “gelang”. Satu pohon aren dewasa dijual 100 s/d 200 ribu rupiah. Selain itu masalah budidaya tanaman yang masih alami. Persebaran tanaman ini masih mengandalkan Luwak sebagai medianya. Sementara populasi hewan luwak ini juga semakin langka. Bahkan di beberapa desa seperti Desa Beji dan Getas, jumlah pohon aren hampir habis karena adanya alih fungi menjadi perkebunan teh melalui program PIR yang digalakan oleh Dinas perkebunana waktu itu.
Harga satu kilogram gula aren saat ini dipasar mencapai Rp 15.000. namun kadang belum samapi dijual ke pasar, gula aren sudah habis dibeli oleh para tetangga atau pesanan. Banyak orang yang memanfaatkan gula aren ini sebagai campuran jamu atau sekedar bumbu pemanis dapur. Namun banyak pihak juga terutama penampung-penampung di pasar yang memanfaatkan tingginya permintaan pasar. Semntara ketersediaan gula aren semakin sedikit. Sehingga banyak penampung yang mencampur gula aren dengan gula kelapa atau bahkan dicampur dengan terigu. Hal ini yang menyebabkan harga gula aren tidak kunjung merangkak naik. Karena minimnya kepercayaan pasar terhadap kualitas gula aren.
Mendekati tengah hari gula yang “diindel” (istilah untuk mengolah nira menjadi gula; merebus nira hingga mengental kemudian dicetak) hampir jadi. Tak banyak nira yang direbus karena memang jumlah yang didapat juga sedikit. Mungkin hanya menghasilkan 2 – 3 kg gula aren. Padahal biasanya Pak Nur Bisa memproduksi 5 – 6 kg bahkan bisa lebih di saat-saat tertentu. Gula yang dihasilkan juga jelek, berwarna hitam kusam. Gula yang baik berwarna coklat cerah. Kondisi nira seperti itu memang riskan. Untuk menghindari terjadinya gula gemblung Istri Pak Nur biasanya menambahkan semacam bubuk pengeras yang berbentuk seperti tepung terigu. Bubuk ini merupakan natrium bizulfit yang digunakan untuk mengeraskan gula dan mencegah nira menjadi asam. Pemakaian obat ini dalam takaran yang melebihi batas sangat membahayakan kesehatan. “kalau terus menerus menggunakan obat ini biasanya wajan menjadi keropos dan tipis” terang Pak Nur disela-sela obrolan santai sambil menikmati wajik gula aren yang disuguhkan. Wajik ini juga menjadi khas makanan masyarakat pandanarum dan Kalibening.
Sudah banyak pihak yang beberapa kali mengadakan kegiatan untuk mendorong peningkatan mutu kualitas gula aren. Diantaranya adalah diversifikasi produk menjadi gula semut. Diharapakan dengan divesifikasi produk ini maka kulaitas gula aren dapat ditingkatkan sehingga akan menaikan harga gula. LPPSLH  dengan pengalamannya dalam pengorganisasian gula kelapa melalui sertifikasi organik. Sertifikasi menjadi persyaratan utama untuk bisa menembus pasar luar negeri.
Dusun deles menjadi salah satu dari beberapa dusun saja yang masih mengakrabi aren sebagai pencaharian hidup. Dusun ini terletak jauh dari jalan utama. Jalan yang dikeraskan menjadi satu-satunya akses jalan menuju kesana. Pohon aren nampak terlihat banyak sepanjang mata memandang. Tak jarang jika kita berjalan disana pada sore atau pagi hari akan menemui banyak sosok  laki-laki yang sudah termakan usia sedang memikul pongkor tempat nira. Minimnya regenerasi dari pemuda-pemuda desa memang menyebabkan aktivitas menderes ini hanya dilakaukan oelh orang – orang tua. Sementara pemuda desa lebih suka merantau ke kota.
Bu Daryonah masih mencoba mengingat aktivitasnya dulu saat setiap pagi merebus nira dan mencataknya jadi gula aren. Bu Daryonah juga menjadi  salah satu kader dalam kegiatan pembuatan gula semut. Sambil menyeruput teh panas dalam gelasnya Bu Daryonah menceritakan bagaimana kesibukannya dulu membuat gula semut, mendapat banyak pesanan bahkan hingga diminta melatih tetangganaya yang ingin membuat gula semut. Namun semua itu kini tinggal cerita karena saat ini Suaminya berada di Jakarta bekerja. Pohon aren yang jadi miliknya sedang tidak mengeluarkan nira. Sementara Bu Daryonah saat ini sibuk mengelola kebun Cabai. Sepertinya menderes aren sedang mengahadapi tantangannya, atau hanya akan menjadi cerita untuk anak cucu bagi Pak Nur. (leo)
.